Oct 2, 2015

Kepada-Mu, Sang Maha Indah

Jalan panjang ini sunyi. Terlalu sunyi. Tersebut beribu pasang daun telinga jadi saksi. Helai kabut yang jatuhpun tak mengingkari. Ada yang terbelenggu induk kunci waktu. Ada yang terantai hari.

Perjalanan ini retak. Meretak. Kian retak. Tak tak tak. Seperti kering tanah jadi remah. Bagai gugus sukma yang silih membelah. Hujan yang dihempas kemarau kronis. Tak ada gerimis. Aku titik pasir pada kerumun sahara nan bengis.

Rindu aku. Pada-Mu.

Andai liku dunia tak serumit ini, pastilah aku tengah sibuk merajut melodi. 
Seumpama tak Engkau ciptakan mata air di dalam kedua mataku, yakinlah aku sedang asyik menganyam benang-benang mimpi.

Kemana mesti mengadu? Bukankah berkeluh kesah tak Engkau sukai? Kemana lagi tumpahkan sesak? Sedang meratap tak pernah Engkau restui.

Lalu, lalu, lalu, mesti bagaimana aku menafsir? Engkau berkata tak perlu khawatir. Namun, namun, namun, rasa di jantung ini tersayat getir. Hulu hingga hilir.

Aku, sahaya hina di hadapan-Mu.

Aku, budak debu di pinggir cahaya-Mu.

Sajadah yang tengadah. Menatap penuh iba. Duka yang bersimbah. 
Mengalir ruah bagai limbah. Betapa ingin merengkuh-Mu dalam satu dekapan. Lalu enggan terlepaskan.

Jengahku, patuh pada sebidang jenuh. Jeraku, menampik kebuntuan yang kian utuh. Aku. Rapuh. Rapuh. Aku. Jatuh. Aku. Aku. Jatuh.

Kini pada singgasana malam-malamMu, aku suguhkan bernampan duka di atas air mata. Mohon pada-Mu, teteskan penawar atas pahit racun takdirku. Biar ku bawa pulang pada kehidupan baru.

Demi bulan yang menaruh belas kasih. Demi bintang yang bersinar fasih. Demi langit yang menolak tersisih.
Untuk-Mu, Yang Maha Indah

Dari aku, si lirih jiwa yang terendap di semu lorong-lorong gundah...

Aku Rindu