Jun 30, 2018

Allah Maha Baik


Setiap kali kau ingin menangis dan menyerah. Ingat-ingatlah selalu, bawasannya setiap keputusasaanmu hanya akan menjadi sia-sia belaka jika kau menyerah begitu saja.

Maka setiap kali rasa menyerah itu datang dan membuatmu lelah, tetaplah tepis perasaan itu. Jika kau dipatahkan berkali-kali pada tempat yang sama, maka cobalah bangkit dan tempa kembali dirimu ditempat yang sama pula.

Ibaratnya adalah tidak mungkin bagi seorang petani yang menaburkan benih diladangnya. Akan mati semua tanpa ada yang tumbuh satupun.

Pasti akan tumbuh satu dari sepersekian benih yang ditaburkan. Selama kau menaburnya dengan tetap berkeyakinan penuh pada-Nya saja.

Barangkali Ia sedag menguji hebatnya cinta dan keyakinanmu kepada-Nya. Akankah goyah dengan cobaan yang berkali-kali menyapa.

Maka, berjuanglah terus wahai diri. Sesungguhnya Allaah telah menguatkan hatimu berkali-kali. Dan nikmati setiap prosesnya, maka kau akan dibuat takjub betapa hebatnya Ia mengatur seluruh hidupmu dengan baik-baik saja.

Allaah Maha Baik, dan kaupun berkali-kali meyakinkan hatimu demikian. Dan memang demikian adanya.

Jun 29, 2018

Perjalanan Pulang


Ada yang sedang menempuh perjalanan pulang. Dari tempat dimana mereka jauh ditempatkan, menuju ke tempat asal yang sering begitu lama mereka tinggalkan. Mereka menempatkan dirinya karena pilihan, meski juga kerena keadaan.

Ada yang pulang dengan hati terburu. Karena baik yang datang dan menyambut, sudah sama-sama saling menunggu. Ada yang pulang dengan hati yang tinggal separuh, karena sesampainya di tujuan, yang biasa menyambut tidak lagi seperti setahun lalu, lengkap dan utuh.

Dan sebagian lagi harus pulang dengan rasa sepi. Karena sekarang, yang biasa menemani, yang begitu mereka cintai, sudah tidak bisa lagi mereka temui.

Sungguh waktu kita tidak banyak, bahkan jika itu hanya untuk diri kita sendiri. Maka maknailah selagi ada, dan sempatkan selagi bisa.

Khawatir


Kapan kita akan mati itu pasti. Hanya saja, kita tak bisa mengetahuinya hari ini. Percuma berusaha memperpanjang usia, karena kematian sudah pasti datangnya. Nggak lebih cepat, juga ngga lebih lambat. Yang bisa kita usahakan adalah bagaimana keaadaan ketika meninggal nanti. Husnul khotimah kah? Atau justru sebaliknya?

Sebanyak apa rezeki kita itu pasti. Jangan cuma membayangkan dalam nominal, karena rezeki bisa dalam bentuk kawan yang baik, hidup yang tentram, juga kesehatan. Maka yang paling penting adalah cara kita memperolehnya. Apakah menjadikan jatah rezeki kita halal atau sebaliknya?

Pasangan hidup juga sudah pasti. Aku belum tahu banyak apa yang harus kulakukan tentang ini, tetapi kurasa khawatir bagaimana menjemputnya lebih penting daripada khawatir akan bersanding dengan siapa. Apakah dalam pertemuan dengannya kelak kita sudah menjadi versi terbaik dari diri kita–sehingga begitupun dengannya–atau hanya menjadi kita yang apa adanya?

Ah, kita ini, mengapa khawatir sekali akan hal-hal yang bukan dalam kendali kita sendiri?

Merenung Tentang Kehidupan


Sekian banyak malam ia pakai untuk merenung tentang kehidupan. Bertahun-tahun ia menanyakan untuk apa ia berada di dunia dan dunia ini untuk apa. Rutinitas membuatnya semakin bertanya-tanya sebab setiap hari waktu hanya akan memaksanya untuk melakukan hal yang sama. Sehingga ia tahu, ia tidak bisa berkawan dengan kegiatan yang selalu berulang.

Ia tahu suatu saat ia akan berpulang. Ia paham apa-apa yang dilakukannya kemarin, hari ini, atau mungkin bisa jadi esok, akan mendapat perhitungan. Berkali-kali ia teringat pada janji untuk dirinya sendiri, berkali-kali pula ia merasa lalai. Ia tidak bisa hidup semulus perjalanan yang ia pikirkan dan ia rancang sebab ia tidak hidup seorang diri. Ia bersama yang lain dan memang sudah seperti itu cara kerja dan fungsinya.

Percakapannya dengan waktu selalu saja menelurkan beragam pertanyaan. Tentang bagaimana, kenapa, kapan, di mana, apa, dan siapa. Jawabannya selalu saja pertanyaan.

Ia merasa takut pada ketidaksiapan namun mempersiapkan diri pun sering sekali goyah. Ia khawatir menjadi sia-sia namun ia sering menyia-nyiakan.

Berkali-kali ia bertanya pada waktu, pada langit, pada embus udara, pada awan, pada burung yang beterbangan, pada dedaunan, pada dinding, pada dirinya sendiri di depan cermin.

Terlalu sering ia bertanya pada dunia dan lupa bertanya pada Tuhan. Pada-Nya ia sering lupa berbicara namun mengharapkan jawaban dari dunia.

Jodoh Dan Cinta


Jika masih berada pada masa yang belum siap untuk menikah, maka kita tak perlu sok tahu dengan mendahului takdirNya. Dengan mudahnya berjanji, menyiapkan segala hal untuk membersamai si dia yang dicintai. Lalu, apabila Ia bekehendak lain, tidakkah kita malu dengan ambisi dan perasaan kita sendiri yang terlalu naif perihal jodoh?
               
Fokus pada tujuan awal, niscaya kita akan dipertemukan karena tujuan dan cita-cita yang sama. Dengan begitu, kita tak perlu repot-repot menyamakan prinsip dan persepsi kita. Sebab, ketika kita sudah berupaya, berdo’a, dan percaya, Allah akan beri yang terbaik untuk kita. Seterjal apapun jalan ceritanya, seperih apapun luka, kita akan lebih mudah berlapang dada, kita akan lebih semangat untuk bangkit dan berencana.

Ternyata, ada yang lebih sulit dari memilih, yaitu bertahan pada satu pilihan. Jika sebuah pilihan terdapat alasan Allah didalamnya, maka yakinlah, bahwa perjuangan selama ini takkan sia-sia.

Ketentraman Jiwa


Ia adalah ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan terbebasnya dirimu dari semua yang terlarang. Sebab semua yang terlarang akan berbuah kegelisahan dan kecemasan jika kamu melakukannya. Meski kamu memulainya dengan puji-pujian pada tuhan, atau mengucap bismillah pada permulaannya, tetap sama dan akan hadir gelisah pada dirimu.

Ketenangan adalah kerinduan yang menentramkan saat belum berjumpa, bahkan saat kamu tidak tau dengan siapa akan menjalaninya, ia juga ketenangan yang menyejukkan saat akan saling menyapa. berbahagialah pada setiap ketenangan yang hadir dalam hidupmu.

Karena pernikahan adalah wasiat terindah tentang kesabaran. Tersebab darinya akan lahir ketenangan lahir dan batin. Ia soal kesabaran memulai dan kesabaran menjalani, tidak ada kebahagiaan tanpa dimulai dengan kesabaran, selalu seperti itu.

Untukmu, selamat menjemput dan bersabar untuk “ketenangannya” masing-masing. Karena bahagia akan segera menyapamu saat kamu tersenyum dengan semua kesabaran yang dapat kamu nikmati.

Jun 24, 2018

Aku Menunggumu

Langit merah di ujung jalan, di ujung barat. Aku mencoba mengejarmu. Jauh-jauh ke Stockholm, aku mencoba memberi arti pada waktu yang berlalu begitu kelabu di bawah langit Britania.

Apa yang tersisa dari rutinitas pelik antara angin dan gerimis?

Angin yang menusuk. Gerimis yang membuat menunggu. Angin setelah gerimis yang menusuk-nusuk, ngilu. Aku sudah terbiasa dan siap basah, tapi tidak untuk melulu. Aku siap menunggu kamu yang tak kunjung muncul selepas hujan, selepas terik, selepas hujan dan terik yang silih berganti. Tapi agaknya aku tak bertahan lama. Kamu tidak kunjung tiba di bawah tangkup langit, setahun lamanya.

Akupun memutuskan untuk ke luar negeri, mencarimu. Aku tinggalkan rutinitas yang merongrong semangat, melemahkan hasrat. Rutinitas yang membungakan rindu.

Aku terbang ke kota-kota Eropa daratan. Tapi, kudapati engkau tertutup puncak gedung, kastil, dan katedral. Aku teruskan perjalanan sedikit ke pedesaan, tak kulihat kau di puncak-puncak bukit terjal.

Kemudian kau kucari dalam renungan. Barangkali kau pernah bersemayam dalam memori dan menunggu untuk ditemukan. Tapi kau tidak ada di sana.

Tidak kutemui kau di aliran sungai Seine, Neckar, dan Rhine. Tak kudapati kau di selurus jembatan demi jembatan yang melintangi sungai.

Sekelebat pikir mengaitkan Aurora dan dirimu, mungkin aku harus meninggalkan segala kemegahan bata, beton, dan kerangka besi, menuju utara. Kembali ke rendahnya garis pantai dan tenangnya danau. Akankah kau sudi menemuiku di Stockholm?

Perjalanan ke utara mengenalkanku pada apa itu penerimaan dan perjuangan. Seperti orang Sápmi di pedalaman hutan Skandinavia. Yang mulai tersisih tapi berjuang agar lestari mulia. Hidup harus dinikmati sesuai pilihan. Seperti aku memilih untuk menghampirimu di rendahnya dataran. Menunduk bersama alfalfa yang menunggu datang hujan.

Aku menunggumu di dermaga. Bersama kapal-kapal kayu yang mengingatkan pada nenek moyang kami. Bersama tonggak-tonggak tinggi tempat layar disangkutkan nanti, bersama doa-doa yang ingin aku titipkan dan mimpi.

Kaupun tiba.

Di saat aku belum siap dengan diriku sendiri. Kemudian aku tergopoh-gopoh berlari ke ujung jalan, memposisikan diri. Menjauhi segala yang menghalang pandang hingga aku akhirnya bisa menikmatimu sendiri dalam diam.

Di keramaian dan hilir mudik turis, aku memulai nostalgia kita. Nostalgia yang tidak direncanakan, yang aku usahakan. Nostalgia atas sesuatu yang sulit untuk kurekam tapi begitu kuat bisa kurasakan saat ini.

Begitulah pertemuan kita, wahai senja yang merah dan memerahkan. Yang meronakan langit dengan pengaruh. Aku terkesima, terlena dan terharu.

Senja, bawalah doa dan harapku.

Senja, jangan undang gelap terlalu cepat. janganlah lekas benar meninggalkanku karena besok aku harus kembali. Besok aku harus pulang membawa rindu, membawa titipan harap serupa janji.

Aku Rindu