Langit merah di ujung jalan, di ujung barat. Aku mencoba
mengejarmu. Jauh-jauh ke Stockholm, aku mencoba memberi arti pada waktu yang
berlalu begitu kelabu di bawah langit Britania.
Apa yang tersisa dari rutinitas pelik antara angin dan
gerimis?
Angin yang menusuk. Gerimis yang membuat menunggu. Angin
setelah gerimis yang menusuk-nusuk, ngilu. Aku sudah terbiasa dan siap basah,
tapi tidak untuk melulu. Aku siap menunggu kamu yang tak kunjung muncul selepas
hujan, selepas terik, selepas hujan dan terik yang silih berganti. Tapi agaknya
aku tak bertahan lama. Kamu tidak kunjung tiba di bawah tangkup langit, setahun
lamanya.
Akupun memutuskan untuk ke luar negeri, mencarimu. Aku
tinggalkan rutinitas yang merongrong semangat, melemahkan hasrat. Rutinitas
yang membungakan rindu.
Aku terbang ke kota-kota Eropa daratan. Tapi, kudapati
engkau tertutup puncak gedung, kastil, dan katedral. Aku teruskan perjalanan
sedikit ke pedesaan, tak kulihat kau di puncak-puncak bukit terjal.
Kemudian kau kucari dalam renungan. Barangkali kau pernah
bersemayam dalam memori dan menunggu untuk ditemukan. Tapi kau tidak ada di
sana.
Tidak kutemui kau di aliran sungai Seine, Neckar, dan Rhine.
Tak kudapati kau di selurus jembatan demi jembatan yang melintangi sungai.
Sekelebat pikir mengaitkan Aurora dan dirimu, mungkin aku
harus meninggalkan segala kemegahan bata, beton, dan kerangka besi, menuju
utara. Kembali ke rendahnya garis pantai dan tenangnya danau. Akankah kau sudi
menemuiku di Stockholm?
Perjalanan ke utara mengenalkanku pada apa itu penerimaan
dan perjuangan. Seperti orang Sápmi di pedalaman hutan Skandinavia. Yang mulai
tersisih tapi berjuang agar lestari mulia. Hidup harus dinikmati sesuai
pilihan. Seperti aku memilih untuk menghampirimu di rendahnya dataran. Menunduk
bersama alfalfa yang menunggu datang hujan.
Aku menunggumu di dermaga. Bersama kapal-kapal kayu yang
mengingatkan pada nenek moyang kami. Bersama tonggak-tonggak tinggi tempat
layar disangkutkan nanti, bersama doa-doa yang ingin aku titipkan dan mimpi.
Kaupun tiba.
Di saat aku belum siap dengan diriku sendiri. Kemudian aku
tergopoh-gopoh berlari ke ujung jalan, memposisikan diri. Menjauhi segala yang
menghalang pandang hingga aku akhirnya bisa menikmatimu sendiri dalam diam.
Di keramaian dan hilir mudik turis, aku memulai nostalgia
kita. Nostalgia yang tidak direncanakan, yang aku usahakan. Nostalgia atas
sesuatu yang sulit untuk kurekam tapi begitu kuat bisa kurasakan saat ini.
Begitulah pertemuan kita, wahai senja yang merah dan
memerahkan. Yang meronakan langit dengan pengaruh. Aku terkesima, terlena dan
terharu.
Senja, bawalah doa dan harapku.
Senja, jangan undang gelap terlalu cepat. janganlah lekas
benar meninggalkanku karena besok aku harus kembali. Besok aku harus pulang
membawa rindu, membawa titipan harap serupa janji.