Jun 24, 2018

Aku Menunggumu

Langit merah di ujung jalan, di ujung barat. Aku mencoba mengejarmu. Jauh-jauh ke Stockholm, aku mencoba memberi arti pada waktu yang berlalu begitu kelabu di bawah langit Britania.

Apa yang tersisa dari rutinitas pelik antara angin dan gerimis?

Angin yang menusuk. Gerimis yang membuat menunggu. Angin setelah gerimis yang menusuk-nusuk, ngilu. Aku sudah terbiasa dan siap basah, tapi tidak untuk melulu. Aku siap menunggu kamu yang tak kunjung muncul selepas hujan, selepas terik, selepas hujan dan terik yang silih berganti. Tapi agaknya aku tak bertahan lama. Kamu tidak kunjung tiba di bawah tangkup langit, setahun lamanya.

Akupun memutuskan untuk ke luar negeri, mencarimu. Aku tinggalkan rutinitas yang merongrong semangat, melemahkan hasrat. Rutinitas yang membungakan rindu.

Aku terbang ke kota-kota Eropa daratan. Tapi, kudapati engkau tertutup puncak gedung, kastil, dan katedral. Aku teruskan perjalanan sedikit ke pedesaan, tak kulihat kau di puncak-puncak bukit terjal.

Kemudian kau kucari dalam renungan. Barangkali kau pernah bersemayam dalam memori dan menunggu untuk ditemukan. Tapi kau tidak ada di sana.

Tidak kutemui kau di aliran sungai Seine, Neckar, dan Rhine. Tak kudapati kau di selurus jembatan demi jembatan yang melintangi sungai.

Sekelebat pikir mengaitkan Aurora dan dirimu, mungkin aku harus meninggalkan segala kemegahan bata, beton, dan kerangka besi, menuju utara. Kembali ke rendahnya garis pantai dan tenangnya danau. Akankah kau sudi menemuiku di Stockholm?

Perjalanan ke utara mengenalkanku pada apa itu penerimaan dan perjuangan. Seperti orang Sápmi di pedalaman hutan Skandinavia. Yang mulai tersisih tapi berjuang agar lestari mulia. Hidup harus dinikmati sesuai pilihan. Seperti aku memilih untuk menghampirimu di rendahnya dataran. Menunduk bersama alfalfa yang menunggu datang hujan.

Aku menunggumu di dermaga. Bersama kapal-kapal kayu yang mengingatkan pada nenek moyang kami. Bersama tonggak-tonggak tinggi tempat layar disangkutkan nanti, bersama doa-doa yang ingin aku titipkan dan mimpi.

Kaupun tiba.

Di saat aku belum siap dengan diriku sendiri. Kemudian aku tergopoh-gopoh berlari ke ujung jalan, memposisikan diri. Menjauhi segala yang menghalang pandang hingga aku akhirnya bisa menikmatimu sendiri dalam diam.

Di keramaian dan hilir mudik turis, aku memulai nostalgia kita. Nostalgia yang tidak direncanakan, yang aku usahakan. Nostalgia atas sesuatu yang sulit untuk kurekam tapi begitu kuat bisa kurasakan saat ini.

Begitulah pertemuan kita, wahai senja yang merah dan memerahkan. Yang meronakan langit dengan pengaruh. Aku terkesima, terlena dan terharu.

Senja, bawalah doa dan harapku.

Senja, jangan undang gelap terlalu cepat. janganlah lekas benar meninggalkanku karena besok aku harus kembali. Besok aku harus pulang membawa rindu, membawa titipan harap serupa janji.

Aku Rindu