Feb 27, 2016

Menurut Versi Siapa Untuk Menjadi Yang Terbaik

Dalam banyak satuan waktu, kita seringkali memacu diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik dan bahkan menjadi yang terbaik. Merasa ingin mencapai atau menjadi sesuatu, kita pun sibuk mengakselerasi diri dalam berbagai sisi. Kita berupaya untuk bisa menjadi lebih baik, menjadi yang terbaik. Pernahkah merasakan dan melakukan hal yang sedemikian?

Saat merasa tidak memiliki cukup banyak teman, kita berupaya untuk melakukan hal-hal yang lebih baik agar bisa diterima secara sosial. Saat melihat standar cantik atau tampan terpapar di media, kita berupaya untuk memoles, mengurangi dan menambahkan ini dan itu agar menjadi sama dengan standar idaman. Saat organisasi impian yang dituju mensyaratkan banyak kualifikasi, kita sibuk mencari cara agar bisa menambah detail-detail prestasi yang termuat dalam CV. Saat mengetahui lelaki/perempuan yang kita incar hatinya mempersyaratkan ini itu, kita pun bersemangat memenuhi semuanya. Begitulah, dan masih banyak lagi. Intinya, selalu ada upaya-upaya perbaikan diri yang kita lakukan untuk sesuatu yang menurut kita layak untuk diperjuangkan.

Pertanyaannya adalah, ketika kita ingin memperbaiki diri agar menjadi yang lebih baik atau terbaik, standar baik siapa yang kita gunakan? Versi siapa yang kita jadikan acuan?

Apakah kita melakukan perbaikan diri agar bisa menjadi yang terbaik versi kita sendiri? Versi orangtua? Versi teman sepergaulan? Versi kantor atau organisasi idaman? Versi media? Versi pasangan idaman? Atau versi calon mertua? Hmm, pernahkah terbersit di pikiran bahwa kita haruslah menjadi yang terbaik versi Sang Pencipta?

Memperbaiki diri itu butuh waktu, tenaga dan pengorbanan. Jika alasan yang mendasarinya adalah tentang urusan dunia, bukankah itu tanggung? Mengapa tidak langsung saja menjadikan Allah dan akhirat sebagai alasan? Tahukah kamu, dalam lelah yang sama, bisa saja kita mendapatkan yang berbeda : ada yang hanya dapat dunia, ada yang dapat dunia sekaligus akhirat. Pilih yang mana?

Apapun alasan perbaikan dirimu sebelumnya, ayo kita luruskan sekarang! Ayo kita bersama-sama menjadi yang terbaik menurut versi-Nya. Semoga di hatimu hanya ada Allah dan akhirat sebagai alasan yang hakiki. Karena kita tak pernah tahu kapan kita akan mati. Mungkin saja sebentar lagi, ketika kita belum selesai memperbaiki diri.

Menjatuhkan Pilihan

Kesempatan-kesempatan baik seringkali datang pada waktu yang bersamaan. Banyak hal baik hadir berbarengan menuntut untuk dipilih dan diprioritaskan. Kemudian kita menjadi bingung, karena egoisme kita berkata bahwa tak ada satu pun diantara semuanya yang ingin kita lewatkan. Lalu kita berandai-andai, kalau saja diri kita bisa dibelah dua, kalau saja waktu bisa lebih dari 24 jam. Maka, disinilah kita perlu keberanian untuk berkata tidak.

Tidak semua kesempatan baik harus kita raih. Tidak semua kegiatan baik harus kita lakoni. Tidak semua kebersamaan harus kita hadiri. Tidak semua tarikan kebaikan harus kita ikuti. Disinilah letak keberanian untuk menolak dan berkata tidak. Disinilah juga letak seni menentukan prioritas. Lakukanlah yang mampu kita lakukan dengan optimal, jangan malah membebani diri dengan pilihan-pilihan yang ternyata tidak mampu kita pertanggungjawabkan.

Ayo jatuhkan pilihan! Baik bagi otakmu harus juga baik untuk tubuhmu, tidak baik jadinya jika berakhir dengan mengorbankan kesehatan. Baik bagi dirimu harus juga baik bagi sekitarmu, tidak baik jadinya jika disana tidak terletak kebermanfaatan. Baik bagi duniamu harus juga baik bagi akhiratmu, tidak baik jadinya jika berakhir dengan melupakan akhirat dan hari akhir. 

Selamat menentukan prioritas, selamat menjatuhkan pilihan!

Menjadi Pemeran Utama

Semua orang adalah orang penting. Kita semua adalah pemeran utama yang sudah pasti penting. Tidak ada satu pun dari kita yang tidak penting. Hanya saja, tidak semua orang dapat memahami bahwa mereka penting. 

Kita adalah pemeran utama bagi diri dan kehidupan yang kita jalani. Semua kisah hidup, peran, hak, kewajiban dan tanggungjawab di pundak kita adalah milik kita yang tidak bisa kita tukar dengan milik orang lain.  Itulah mengapa kita menjadi penting. Ya, kita adalah pemeran utama di dalam skenario yang telah dituliskan-Nya untuk kita. Apakah kita bisa menuntut Allah untuk memberi kita pemain cadangan? Tidak, bukan?

Kita adalah pemeran utama dan kita harus menjadi professional dalam menjalaninya. Bagaimana seorang pemeran utama dapat menjadi professional? Tentunya dengan meminimalisir keluhan, meninggikan kepercayaan diri pada kemampuan dan patuh kepada Dia yang memberi peran.

Feb 23, 2016

Tidak Perlu

Tidak perlu ada yang merasa terluka karena kepergian, keputusan yang telah ia buat tak akan berubah hanya karena kau merasa terluka. Menangislah karena kepergian seseorang tapi jangan berlama-lama, kuatlah demi hatimu sendiri, bila kepergiannya membuat kau terluka lantas apa yang kau sisakan untuk oranglain yang lebih menghargai hatimu?

Tidak perlu ada yang merasa terluka karena kepergian. Karena seberapa kuatpun kau menahannya malah membuat kau merasa lebih terluka, relakan dan biarkan saja ia pergi, iringi dengan doa paling baik yang kau bisa. Bukankah kau mengerti bahwa doa adalah sebaik-baik penjagaan?

Duhai, tak perlu merasa terluka karena kepergian. Esok lusa kau akan mengerti mengapa ia pergi, mengapa ia meninggalkan kau. Walaupun ia tak pernah menjelaskan apapun tentang kepergiannya, tapi sungguh kau akan mengerti suatu hari nanti.

Kau boleh bersedih karena ditinggalkan, tapi jangan berhenti berjalan. Akan ada tangan baik hati yang mau menolongmu, yakinilah bahwa Tuhan amat mencintai kau dan akan Tuhan kirimkan orang yang paling pantas menjagamu.

Tidak perlu ada yang merasa terluka karena kepergian, sungguh tidak perlu.

Berulang Kali Jatuh

Bagimana rasanya, jatuh di tempat yang sama berulang kali?

Itu bukan salahmu bila kau telah memutuskan jatuh disana berulang kali. 
Nyatanya, kau tak merasakan sakit apapun bahkan ketika luka disana-sini, ketika orang lain mencoba mengeluarkanmu dari perasaan itu, kau malah enggan untuk ditolong. Lalu yang harus kau lakukan adalah, meyakini seberapa pentingnya dia hingga kau rela jatuh disana berulang kali.

Tak ada yang salah dengan jatuh ditempat yang sama berulang kali, kau hanya perlu bersyukur bahwa kau masih diberi Tuhan kesempatan memperjuangkan apa yang kau yakini. Bersyukur saja, karena jatuh dan luka adalah hal yang pasti datang bersamaan.

Bukan hal yang tak baik ketika kau jatuh pada tempat yang sama berkali-kali. Tak ada yang salah dalam jatuh cinta, sampai kau kehilangan akal sehat dan keimananmu.

Feb 22, 2016

Tentang Menikah

Bagi kebanyakan perempuan, menikah adalah seperti menemukan kepingan puzzle terakhir yang akan menggenapkan seluruh gambaran besar kepingan-kepingan kehidupannya. Menikah dibayangkan seperti adanya seorang pangeran berkuda yang datang dengan menawarkan hidup yang penuh dengan kebahagiaan. Kemudian, yang terlintas di pikiran adalah tentang pernikahan impian, gaun teranggun, riasan wajah tercantik, sampai kehidupan cinta ala fairy tale.

Bagi kebanyakan laki-laki, menikah adalah seperti menemukan pelabuhan terakhir atau rumah untuk pulang setelah melakukan banyak perjalanan. Menikah dibayangkan seperti adanya seorang permaisuri yang bersedia diajak menyusuri jalan setapak perjalanan. Kemudian, yang terlintas di pikiran adalah tentang seseorang yang akan membantunya mengurusi banyak detail tentang kehidupannya.

Tapi, jika ternyata menikah adalah tentang serangkaian kompetensi, apa pendapatmu? Bayangkanlah, untuk melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan saja kita membutuhkan kompetensi yang jelas dan terukur agar dapat diterima, apalagi untuk menjalani kehidupan pernikahan, bukan?

Hmm, jadi begini, setiap manusia lahir dengan potensi yang dimiliki. Potensi berarti sesuatu yang dibawa sejak lahir, namun bisa saja tidak muncul karena tidak pernah diasah atau diberi kesempatan untuk berkembang. Potensi sifatnya masih belum terlihat, dan potensi yang sudah dimunculkan dalam bentuk perilakulah yang kemudian dinamakan kompetensi. “Masalahnya, menikah itu tidak hanya membutuhkan potensi, tapi membutuhakan kompetensi yang detail yang muncul dalam perilaku-perilaku yang terukur.”

Nah lho, menikah ternyata butuh kompetensi! Kompetensi apa saja? Banyak! Diantaranya adalah kompetensi dalam hal keimanan, pengasuhan, hidup sebagai pasangan, kehidupan sosial, kematangan berpikir, kedewasaan bersikap, dll. Semuanya butuh persiapan, ilmu dan kesediaan untuk terus memperbaiki diri. Maka, benar adanya bahwa hal terbaik yang dapat dilakukan dalam masa menunggu adalah memperbaiki diri. 

Lantas, masihkah kamu berpikir bahwa menikah hanyalah tentang romansa dua orang yang jatuh cinta lalu memutuskan untuk hidup bersama?

Aku Rindu