Jan 23, 2015

“Kita memang berbeda, iya kan??”



Wajar saja jika kita tidak selaras. Bahkan aku saja bukan tipemu, bukan? Kau menyukai perempuan lugu, sedang kota besar tempat tinggalku dulu telah melenyapkan itu dariku. Kau menyukai perempuan anteng dan kadangkala aku ramai, gaduh, lagi berisik seperti pasar malam. Kau menyukai perempuan seperti seseorang disampingmu sekarang, sedang aku sama sekali tidak seperti itu.
Ragamu itu seutuhnya masih padanya, pada tatapan seorang perempuan lugu. Adanya aku dalam beberapa waktu ternyata tidak ada apa-apanya dengan dia. Hidupnya dimatamu memang hebat, sampai kau sendiri tak mampu melihat hidupku yang berdiri di dekatmu. Aku tidak cemburu. Aku hanya iri pada bagaimana ia bisa membuatmu jatuh cinta sebegitu dalam dan susah menepis hadirnya dalam ceritamu saat bersamaku. Aku tidak cemburu. Aku hanya iri pada bagaimana kau rajin menyebut nama cantiknya dalam tiap doamu. Aku tidak cemburu. Aku hanya iri pada bagaimana ia menguasai utuh satu hati yang ingin kumiliki.
Tolong katakan bahwa aku bukan apa-apa. Katakan juga tepat di telingaku bahwa percakapan-percakapan juga hari-hari bersamaku itu pun bukan apa-apa. Katakan saja, sebab aku takut aku menyimpan harapan lagi. Aku takut, aku tiba-tiba kau hempaskan lagi dari ketinggian tanpa belas kasihan seperti hari lalu.
Cuma. Aku ingin bilang sesuatu.
Aku memang tidak lugu, tapi aku tidak ingin dan tidak akan mengecewakanmu.
Aku memang tidak pendiam, tapi aku dengan ramaiku gaduhku akan menyemarakkan hari-harimu.
Aku memang tidak seperti dia, tapi aku telah menjadi diriku sendiri..

Dua Sisi



Kita adalah sepasang matahari, sama-sama ingin menyinari bumi. Lantas kita berdiri di dua sisi. Membuat bumi kehilangan malamnya, tidak bisa melihat bintang-bintang.

Kita adalah sepasang rembulan, berharap menghiasi malam-malam. Lantas kita lupa, darimana cahaya kita bila tidak ada matahari? Dan malam menjadi begitu kelam.

Kita sering bersikeras untuk menjadi sama, padahal kita diciptakan berbeda. Aku laki-laki dan kamu perempuan. Kita memiliki peran yang berbeda, memiliki tujuan penciptaan yang berbeda. Selain satu tujuan yang sama, yaitu sama-sama saling melengkapi.

Kita tidak bisa berdiri sendiri, itu seperti sebuah tubuh berdiri dengan satu kaki. Mungkin bisa tapi pada akhirnya kita akan jatuh. Kita tidak perlu menjadi sama. Kita tidak perlu menjadi budak dari hawa nafsu kita. Kita tidak perlu berdiri di sisi yang berseberangan. Kita bisa bersebelahan, kita mulai dari hari ini.


Apa Aku Telah Membuatmu Jatuh Cinta ?



Dulu, segala kebaikanku berlaku biasa saja. Mengapa kini kamu mempertanyakan maksudnya?
Dulu, segala pertanyaanku hanya berakhir tanda tanya. Mengapa kini ia berakhir canda-tawa?
Apakah orang sepertiku ini yang beberapa kali kamu pertanyakan sikapnya? Yang beberapa kali kamu sindir meski aku tidak merasa.
Aku tidak bisa membaca hatimu. Mengapa kamu menjadi lebih peduli dan mengapa sinar matamu memancarkan harap?
Apakah orang sepertiku ini yang beberapa kali kamu tangisi keberadaannya? Yang beberapa kali kamu tanyakan mengapa harus muncul dalam hidupmu lalu menggetarkan hatimu?
Aku tidak bisa membaca pikiranmu. Mengapa warna suaramu menjadi lembut dan sikapmu menjadi lebih hangat? Mengapa kamu menangisi kepergian dan mengharap pertemuan?
Apakah orang sepertiku ini yang berusaha kamu usir dari hatimu, tapi kamu tidak bisa? Yang beberapa kali kamu hindari, tapi kamu tak kuasa menolaknya?
Apa aku telah membuatmu jatuh cinta?

Hidupmu adalah Sebuah Alasan



Mungkin kita pernah merasa putus asa, merasa sakit hati, merasa dikhianati, merasa tidak berarti, atau merasa apapun yang membuatmu berkesimpulan pendek, bahwa hidupmu tidak berarti.

Saat kita menilai diri sendiri demikian, pada dasarnya kita sedang mencerca Tuhan yang telah menciptakan kita. Karena sudah pasti, Dia merencanakan sesuatu pada kita saat kita diciptakan. Ada alasan mengapa kita diciptakan, ada alasan mengapa kita harus ada. Ada sesuatu yang ingin Dia lakukan melalui tangan kecil kita ini, melalui akal ini, melalui hati kita ini.

Di sisi lain, saat kita mungkin bertanya tentang alasan hidup kita. Dan mengapa kita harus bertahan sejauh ini. Sementara kita sibuk mencari alasan mengapa kita hidup. Ada orang yang diam-diam menaruh harap pada kita, hidup kita adalah alasan mereka untuk terus melanjutkan hidup. Bertahan sejauh ini. Salah satunya adalah orang tua kita. Dan salah satu yang lain, mungkin orang yang diam-diam mencintai kita. Tapi kita tidak bisa merasakannya. Karena hati kita sedang sibuk mengurus luka dan ego kita sendiri.

Di sisi lain. Keberadaan kita menjadi alasan untuk hidup orang lain. Saat kita sedang mencaci segala hal yang terjadi dalam hidup kita, bahkan mencaci diri sendiri. Merasa tidak berarti. Kita ternyata sangat berarti buat orang lain.

Esok atau lusa kita akan tahu, siapa-siapa orang yang menjadikan kita sebagai alasan hidupnya. Tidak hari ini, hari ini kita sedang sibuk pada diri sendiri. Sibuk pada menata mimpi dan hati. Kita terlalu egois karena memikirkan keadaan kita.

Esok mungkin kita akan menyesali hari ini. Bila hari ini, saat ini juga kita tidak duduk diam sejenak. Menarik nafas kita dalam-dalam. Dan merasakan keberadaan orang-orang di sekitar kita yang selama ini kita abaikan. Saat kita sibuk mencari dan mengharap perhatian dari orang yang kita kejar. Mereka telah berdiri sejak lama, memberikan perhatiannya.

Kita akan menangisi mereka saat mereka nanti pergi. Hari ini, kita akan belajar berterima kasih kepada mereka. Karena, mereka adalah orang-orang yang menganggap kita adalah alasan hidupnya.

Dan itulah alasan keberadaanmu di dunia ini. Selamat berkontemlasi :)


Jan 20, 2015

Rem Kehidupan



Hidup itu perlu rem, layaknya berkendara dengan kendaraan. Tanpa rem, hidup kita bisa melaju tanpa kendali. Dan sejauh ini —yang bisa saya mengerti dan rasakan— rem terbaik yang bisa menahan laju itu adalah masa lalu.

Setiap orang, punya masa lalu. Dan rem adalah masa lalu yang buruk. Setiap orang pernah berbuat salah, setiap orang pasti pernah berbuat dosa, setiap orang pasti pernah melakukan sesuatu yang menurutnya sangat buruk. Hingga membuatnya merasa tidak layak hidup, bahkan sangat takut bila masa lalu itu diketahui oleh banyak orang.

Kesalahan-kesalahan di masa ketika pengetahuannya belum sampai, ketika ilmunya belum cukup. Kesalahan yang cukup memalukan dan karena kasih sayang-Nya, semua itu ditutup rapat dari orang lain.

Mungkin, saat ini kita semua telah menyadari kesalahan itu. Bahkan sekarang kita telah menjadi pribadi yang berbeda nyaris 180 derajat. Mengakui dan menyesali kesalahan-kesalahan kita sebelumnya dan itu memberikan pembelajaran yang berharga untuk kita agar tidak melakukan hal yang sama.

Mungkin, saat ini kita telah menjadi seseorang dengan pencapaian yang luar biasa. Orang lain memandang kita sedemikian tinggi dengan apa yang telah kita dapatkan, menjadi pimpinan, memiliki pekerjaan yang membanggakan, menjadi orang terkenal, menjadi seseorang dengan prestasi ini dan itu. Mereka hanya tahu kita hari ini bukan? Mereka tidak pernah tahu hidup seperti apa yang kita jalani sebelumnya dan kita pun sibuk memoles diri kita sedemikian rupa. Kadang lupa untuk bersyukur kepada Allah karena tidak membuka aib kita. Kita pun sedemikian rapat menggenggamnya sangat erat.

Bersyukurlah karena kita memiliki masa lalu yang buruk. Kita berdosa, itu jelas. Dan hal itu membuat kita berbuat lebih banyak kebaikan untuk membayarnya bukan? Ketika kita terasa sedemikian tinggi, ada kait yang membuat kita ingat untuk merendah. Bahwa kita pun sebenarnya banyak salah dan sebenarnya tidak layak untuk ditinggikan sedemikian rupa.

Masa lalu menjaga kita untuk merendah dan membumi, mengingatkan kita bahwa kita adalah seorang manusia yang setara satu dengan yang lain. Tidak lebih tinggi maupun lebih rendah, tidak pantas memandang lebih rendah orang lain, tidak pantas pula menghakimi orang lain. Kita lebih layak untuk menghakimi diri kita sendiri.

Masa lalu menjadi rem dalam kehidupan kita. Karena dari sanalah kita belajar dan dari sana pula kita diingatkan siapa sebenarnya kita. Kita boleh jadi setinggi langit, tapi diatas langit selalu ada yang lebih tinggi. Kita jangan terlalu bangga, cukupkanlah dengan syukur dan selalu ingatlah bahwa kita tidak pantas membanggakan diri sedemikian rupa. Karena semua yang sedang kita jalani ini adalah sebab ijin-Nya.

Semoga kita senantiasa menjaga kerendahan hati. Menjadi apapun kita dalam hidup ini, tetaplah menjadi orang baik. Karena kebaikan dan kerendahan hati adalah mata uang yang berlaku dimanapun kita berada.

Aku Rindu