Berkali-kali saya membolakbalik roti panggang berisi mentega
dan ceres coklat, bentuknya tidak terlalu istimewa, warnanya kecoklatan nyaris
kehitaman, tapi saya tetap saja suka dengan roti panggang. Saya selalu
bersyukur bisa menikmati pagi dengan hidangan roti panggang dan segelas teh
hangat yang tidak terlalu manis.
Tujuh jam berlalu. Sekarang dihadapan saya ada kopi pekat
yang lajang, tidak ada roti panggang disiang hari karena mungkin roti panggang
memang hanya cocok dipagi hari pikirku, yang istimewa kali ini aroma tubuhmu
memenuhi ruanganku entah ia lolos darimana padahal saya sengaja mengunci rapat
pintu dan jendela sebelum saya duduk didepan secangkir kopi pekat yang
lajang. Aroma itu jelas mengganggu pikiran dan perasaanku yang sedang menghitung
laba dan rugi sejak kedatanganmu dalam hidupku, meraba-raba kertas dimana
tertera daftar janji yang pernah kau buat dihadapanku setiap menjelang petang,
saat kita memilih tidak menyalakan lilin dan membiarkan pekat malam meraba
keseksian tubuhku yang melekat seperti perangko pada tubuhmu yang juga tidak
kalah seksinya, saya sibuk menghitung hari sejak kepergianmu, semua kesibukan
itu akan terhenti jikalau saja kau telah berdiri didepan pintu rumahku.
Sayang kemarilah, rindu ini hampir saja membutakanku, seandainya
rindu itu serupa dengan koin mungkin semua celengan dipasar sudah saya beli,
dan mungkin saya sudah mampu membeli sepetak Hati untuk menanam rindu dan
menyemainya. Kemarilah sayang!
Masih adakah rasa yang lebih keparat dari perasaan
rindu? Bawakan padaku, ingin saya cicipi, sebab rasa rindu sudah tidak mampu
membeli airmataku lagi. Mungkin karena telah terlalu lama.
Kunjungi aku jika kau sudah tidak sibuk mengurusi perempuan
yang lain!