Feb 6, 2015

Secangkir Kopi Hitam



Jika hidup bisa diekstraksi, mungkin wujudnya akan menjadi secangkir kopi hitam. Rasanya manis dan pahit.

Seorang peracik kopi pernah berpesan, jika kamu mengaduk kopi, lakukan dengan lembut. Jangan terlalu pelan, jangan juga terlalu cepat. Antara keduanya saja. Agar kopi, gula, bercampur sempurna dengan air.

Setelah itu, biarkan sejenak. Tunggu sampai kopinya mengendap. Jika kamu langsung meneguknya, rasanya akan pahit di lidah. Tapi jika kamu mau bersabar menunggu sebentar, manisnya gula akan berkombinasi dengan pahitnya kopi, yang dari situlah tercipta rasa nikmat yang tiada duanya.

Sama seperti hidup. Jangan mengaduknya terlalu cepat. Nanti kamu terjebak sendiri dalam pusarannya. Lemah lembutlah, tapi juga jangan terlalu pelan. Nanti kamu tertinggal.

Untuk mendapatkan cita rasa hidup yang nikmat, kamu perlu bersabar. Tunggu, sampai pahitnya mengendap. Jangan tergesa-gesa, tunggulah sebentar saja. Rasa pahit yang kamu terima dalam hidup tidak akan selamanya. Tunggulah, manisnya hidup akan lebih terasa setelah pahit berjuang. Kesabaranmu akan berbuah. Pahitnya perjuangan bercampur dengan manisnya kebaikan, dan itulah yang membuat hidup terasa nikmat. 

Yang manis akan melebur, sementara yang pahit akan mengendap. Namun, tidak ada kenikmatan jika tak pernah mengecap pahit. Karena itu, masukkan saja ia dalam gelas kehidupanmu. Lalu aduk perlahan. Maka hidupmu akan lebih nikmat.

Selamat mencicipi kopimu! ^^


Feb 5, 2015

Bukan Pilihan Kita Yang Menentukan Siapa Kita



Memilih adalah urusan yang kita hadapi setiap hari, sampai kapan pun. Maka tidak berlebihan jika ada yang membuat rangkuman tentang keseluruhan hidup berbunyi ‘hidup adalah pilihan.’

Alam pilihan bukanlah alam berisi dua warna tegas, hitam dan putih. Melainkan suatu alam dengan beragam warna. Karenanya, akan selalu ada banyak kemungkinan pilihan.

Menentukan pilihan tidak selalu mudah, bahkan mungkin tidak pernah mudah. Faktanya, seringkali kita berhadapan dengan pilihan yang rumit. Ketika memilih, kita tidak hanya berpikir tentang ‘ya’ atau ‘tidak’ tapi juga tentang berbagai konsekuensi yang akan kita peroleh setelahnya.

Memilih menjadi tidak mudah karena manusia terus menerus berpikir. Manusia diberi kelebihan dalam aspek kognisi, yang membuatnya bisa menalar, berpikir logis, mencari hubungan sebab-akibat, dan lain sebagainya. Ketika memilih, proses berpikir pun berjalan.

Contohnya, saat dihadapkan pada pilihan antara naik kereta atau bis, otak kita memproses berbagai informasi, membandingkan kelebihan dan kekurangan dari kereta dan bis : berapa waktu tempuhnya, berapa biayanya, bagaimana kenyamanannya. Sampai otak akhirnya memilih satu yang menurutnya paling baik.

Karena proses berpikir itu, kita pun  memiliki alasan, dan karena alasan itulah kita menentukan pilihan. Karenanya di balik semua pilihan yang kita ambil pastilah ada alasannya. Bahkan saat alasannya hanya berupa “Karena ingin aja” itu pun merupakan suatu alasan. Hanya saja, a lasan yang melatarbelakangi pilihan yang diambil oleh setiap orang bisa berbeda-beda.

Misalnya, mungkin saya dan kamu memilih mengenakan baju yang sama hari ini. Tapi alasan kita berbeda. Saya memilih baju itu karena hanya baju itu yang sudah disetrika di lemari saya, sementara kamu memilih baju itu karena kamu memang menyukainya.

Alasan inilah, menurut saya, yang menentukan kekuatan dan kualitas dari pilihan yang kita ambil.

Ada sebuah ungkapan yang dikemukakan Profesor Albus Dumbledore dalam kisah Harry Potter. Bunyinya :

"Pilihan kitalah yang menentukan siapa diri kita." 

Awalnya saya sepakat dengan ungkapan itu. Namun, saya harus mengatakan bahwa kini saya sama sekali tidak sependapat dengan ungkapan itu.
Benarkah pilihan kita menentukan siapa diri kita? Menurut saya : TIDAK. Tidak sesederhana itu.

Bukan pilihan kita yang menentukan siapa diri kita, melainkan alasan yang mendasari pilihan yang kita ambil. Alasan dari setiap pilihan kitalah yang menjelaskan siapa diri kita.

Kembali lagi, setiap pilihan lahir dari proses berpikir. Ada berbagai pertimbangan, ada proses logika, sampai bisa melahirkan sebuah keputusan.

Tidak adil rasanya jika kita langsung melihat pada hasilnya (pilihan yang diambil) tanpa melihat proses dan alasan yang melatarbelakangi lahirnya pilihan tersebut. Apalagi jika dari hasil tersebut kita tarik garis lurus dan menjadi sebuah kesimpulan mengenai sosok seperti apa orang tersebut.

Sebagai ilustrasi, tentu berbeda, seseorang yang memilih untuk beragama Islam dengan alasan agar diizinkan untuk menikahi orang yang dicintainya dengan seseorang yang memilih untuk beragama Islam dengan kesadaran penuh bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridoi Allah.

Tentu berbeda, seseorang yang memilih untuk tidak mencontek saat ujian dengan alasan takut pada pengawas dengan seseorang yang memilih untuk tidak mencontek dengan alasan ingin menjaga integritas dirinya.

Hanya karena Z memilih untuk menikahi orang yang baik, tidak serta merta menentukan bahwa Z adalah orang yang juga baik. Kecuali pilihannya didukung oleh alasan yang sesuai. Misalnya, karena Z ingin menjaga diri dari maksiat. Namun akan berbeda jika alasan Z adalah karena ingin pamer pada teman-temannya.

Hanya karena X memilih untuk menikahi seseorang yang (dalam pandangan orang) biasa saja, tidak serta merta menentukan bahwa level X juga biasa saja. Mungkin saja X beralasan ingin menjadi seseorang yang menghebatkan pasangannya itu, sehingga kelak pasangannya menjadi seseorang yang luar biasa di masa depan. Kita baru bisa menyimpulkan sebaliknya jika alasan X menikah misalnya hanya untuk melengkapi status tertentu.

Dengan melihat alasan-alasan tersebut, rasanya penilaian yang kita buat akan lebih adil. Penilaiannya bukan hanya berdasarkan apa yang tampak, tapi juga mempertimbangkan apa yang ada di baliknya.

Setiap proses pengambilan pilihan ibarat suatu pertarungan. Kita tidak pernah benar-benar tahu, sehebat apa pertarungan yang dihadapi orang lain dalam otak dan hatinya saat harus membuat pilihan. Tapi kita pun mengalami betapa beratnya pertarungan itu, bukan? Jadi ada baiknya kita melihat lebih jauh, sebelum menilai seseorang berdasarkan pilihan yang dibuatnya.

Saat pemimpin kita memilih kebijakan yang dalam pandangan kita merugikan kita, mungkin kita perlu melihat lebih jauh. Jauh pada alasan yang ada di balik pilihan tersebut. Agar kita bisa menilai lebih adil.

Saat kita menyaksikan orang lain di luar sana memilih untuk menjadi pencuri, pembunuh, rasanya kita tidak cukup bijak jika kita langsung menghakimi, padahal belum mendengar dan melihat alasan yang mereka punya di balik semua itu.  
Pilihan kita tidak serta merta bisa menentukan siapa diri kita. Alasan yang mendasari pilihan kitalah yang bisa menjelaskan siapa diri kita.

Karenanya, dalam setiap kali membuat pilihan, milikilah alasan yang kuat. Berpikirlah dengan jernih, libatkan pertimbangan-pertimbangan hatimu. Libatkan Allah dalam setiap pilihanmu. Agar setiap pilihan yang kita ambil sesuai dengan rambu-rambu Ilahi, dan mengantar kita pada jalan yang Allah ridoi.

Dan saat melihat pilihan-pilihan yang diambil orang lain, jangan langsung mengambil kesimpulan mengenai orang tersebut.

Bertanyalah, lihatlah lebih jauh, dengarkan baik-baik alasannya kenapa mengambil pilihan itu. Percayalah, semua orang punya pertarungan hebat dalam dirinya yang harus ia hadapi saat menentukan pilihan. Dengan mengetahui alasan-alasan di balik pilihannya, barangkali kita bisa lebih menghargai dan memanusiakannya, sebagaimana kita pun ingin dihargai dan diperlakukan secara manusiawi.

CINTA TRANSAKSIONAL



Pernikahan bukan tentang apa yang ‘aku’ punya dan tidak punya, bukan tentang apa yang ‘kamu’ punya dan tidak punya. Dalam pandangan saya, pernikahan yang diniatkan hanya untuk melengkapi kehidupan akan melahirkan cinta transaksional : cinta terpelihara karena ada tukar-menukar antar suami dan istri. Tukar-menukar kecantikan dan kekayaan, kebesaran nama dan kebesaran harta, keshalihan dan keindahan rupa, dan seterusnya, dan seterusnya.

Benar bahwa dalam pernikahan ada hak dan kewajiban yang membuat baik suami dan istri berhak meminta, dan di sisi lain berkewajiban untuk memberi, yang secara tidak langsung membentuk suatu ‘transaksi.’

“Aku kan sudah menjalani kewajiban mencari nafkah, mana pelayananmu terhadap saya?” ujar suami

Di saat yang sama, istri bisa saja berkata, “Aku sudah berlelah-lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah, merawat anak, melayanimu, sebagai kewajibanku. Sekarang, mana hak saya untuk belanja dan jalan-jalan?”

Berbicara hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan tentu bukan menjadi area saya. Yang saya ingin sampaikan adalah, kita bisa saja menjalani kehidupan pernikahan dengan pola pikir ‘hak-kewajiban’ seperti itu, dengan harapan pernikahan kita benar-benar berjalan dengan penuh pertanggungjawaban, karena itulah bobot besar hubungan pernikahan jika dibandingkan dengan hubungan pacaran. Dengan pola pikir seperti itu, kita bisa berharap tidak akan ada hak-hak yang terbengkalai, tidak ada yang terdzalimi.

Saya pernah mendengar cerita tentang sepasang suami istri yang murni menjalani pernikahannya dengan pola pikir ‘hak-kewajiban’ seperti demikian. Sang suami tengah mengalami kemunduran dalam karirnya, namun di saat yang sama, istrinya (bekerja) justru mendapat promosi jabatan di tempat kerjanya. Dalam kesepakatan mereka, suamilah pemberi nafkah utama. Uang suami adalah uang istri juga, sementara uang istri adalah uang istri.

Dalam kondisi seperti demikian, sang istri merasa sudah semestinya ia meminta haknya berupa nafkah perbulan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tidak salah, menurutnya. Karena toh itu memang menjadi kewajiban suami. Karena toh dia pun menjalani kewajibannya sebagai istri dengan baik, menurutnya.

Alhasil, suami yang di saat yang sama merasa terdominasi karena istrinya lebih berpenghasilan, merasa sangat terbebani dengan tuntutan tersebut. Akhirnya, sang suami frustasi. Istri terus meminta haknya. Perceraian pun tak dapat dicegah lagi.
Contoh di atas hanya ingin menggambarkan seperti apa pola hubungan yang saya sebut dengan pola hubungan ‘hak-kewajiban.’ Tidak semuanya seperti itu. Tidak semuanya berakhir seperti itu, saya yakin

Ya, kita bisa saja menerapkan pola pikir ‘hak-kewajiban’ dalam pernikahan di atas segala-galanya. Akan tetapi, jangan lupa bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah sakinah atau ketenangan, kestabilan jiwa.

Ikatan pernikahan berbeda dengan kontrak pekerjaan. Keduanya sama-sama tentang komitmen, yang darinya tercipta hak dan kewajiban antar kedua pihak. Namun, pernikahan tidak membuat istri menjadi pelayan atau atasan bagi suami. Pernikahan tidak membuat suami menjadi pegawai atau bos bagi istri. Pernikahan tidak sekaku dan sedingin itu. Pernikahan disyari’atkan agar hadir kedamaian hati, kekuatan dalam keluarga, kebersamaan dalam menaati Allah dan Rasul-Nya.

Pernikahan bukan jual beli, di mana ada transaksi antar dua pihak. Pernikahan juga bukan area medan perang, di mana harus ada yang menang dan yang kalah. Pernikahan juga bukan area meja hijau, di mana ada yang menuntut dan yang dituntut. Pernikahan adalah ikatan suci, yang membuat dua orang manusia saling mencintai bukan membenci, mengasihi bukan berperang, memberi bukan menuntut, membangun satu sama lain bukan menjatuhkan satu sama lain, sehingga keduanya dapat bersama-sama mendapati kehidupan yang tenang lahir batin, diberkahi Allah Swt, dan bermanfaat bagi kehidupan dan lingkungan.

Adapun hak dan kewajiban adalah hal yang tetap harus dijunjung, karena pertanggungjawabannya langsung berhadapan dengan Allah Swt. Tetapi, ingat pula bahwa pernikahan akan bisa bertahan jika di dalamnya senantiasa terpelihara empat hal : (1) keterbukaan terhadap karakter-karakter pasangan, yang melahirkan keinginan untuk terus mengenalnya (ta’aruf); (2) saling mencintai antar keduanya yang berlandaskan kecintaan terhadap Allah Swt, yang membuat keduanya semakin dekat kepada apa-apa yang dicintai Allah (tahabbu); (3) saling membantu dalam berbagai kondisi, mengedepankan kepentingan bersama dibandingkan ego masing-masing (ta’awwun); dan(4) menghargai pasangan dengan segala keunikan, kelebihan, dan kekurangannya, serta berlapang dada terhadap kesalahan maupun perbedaan (tasamuh).

Kekuatan cinta dalam pernikahan alangkah luar biasa besarnya. Ia akan begitu menghidupkan, merawat, menjaga, melayani, memberi, melindungi, menghargai, memotivasi, merelakan, dan menenangkan.

Sementara itu, mahligai pernikahan adalah perjalanan yang teramat panjang dan penuh cerita, baik cerita suka maupun duka. Siapa yang tak ingin berjalan terus bersama dalam perjalanan itu hingga pada ujung yang indah, yaitu surga? Siapa yang tak ingin pernikahannya berbuah keridoan Allah Swt? Ini adalah perjalanan yang luar biasa hebat. Ini adalah ibadah yang paling lama, selama diniatkan untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, dibutuhkan perbekalan yang tak biasa. Dibutuhkan kerja sama antar suami-istri yang lebih kuat ikatannya daripada kontrak pekerjaan. Mudah-mudahan cinta yang dipahami dan diresapi dengan benar dapat menjadi bekal yang kuat. Cinta yang mendekatkan keduanya kepada cinta yang sejati, yakni cinta kepada Allah Swt.

Maha suci Allah di atas segala-galanya.



Feb 4, 2015

Tentang Perempuan



Banyak persepsi yang berkembang tentang perempuan. Ada 2 pandangan ekstrim tentang perempuan, yang pertama perempuan makhluk inferior atau laki-laki yang cacat dan yang kedua perempuan setara dalam segala hal dengan laki-laki kecuali dari segi biologis saja, bahkan perempuan lebih baik dari laki-laki sehingga pernikahan sesama perempuan itu sesuatu yang agung. Dalam Islam, tidak ada perdebatan tentang perempuan. Jika ditilik dari sejarah islam, perempuan-perempuan muslim justru banyak mengambil peran. Contohnya Aisyah yang begitu cerdas sebagai perawi hadist dan Khadijah sebagai pengusaha yang sukses. Hidup itu adalah pilihan, sehingga kita harus menentukan pilihan akan berperan dimana. Ketika sudah menjatuhkan pilihan maka jadilah yang terbaik. 

Pada saat ini banyak digembar-gemborkan tentang kesetaraan gender. Kesetaraan gender ini bukan berarti perempuan sama dengan laki-laki dalam segala bidang. Setiap makhluk yang diciptakan Allah mempunyai kodratnya masing-masing, begitupun perempuan dan laki-laki. RA. Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita pun menegaskan dalam suratnya bahwa usaha untuk mengadakan pendidikan bagi perempuan bukan untuk menyaingi laki-laki tetapi sebagai bekal untuk mendidik  generasi berikutnya. Ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya sehingga perempuan-perempuan yang cerdas akan dapat merubah peradaban. 

Pada dasarnya perempuan dan laki-laki itu saling melengkapi. Tidak ada yang lebih tinggi satu dari yang lain. Dalam urusan agama, yang membedakan seseorang dengan orang yang lain pun bukan jenis kelaminnya namun imannya. Masuk surga pun tidak ditentukan dengan jenis kelamin.

Seiring dengan perkembangan zaman, kini perempuan telah mendapat pendidikan yang layak, sehingga banyak-perempuan-perempuan mengambil peran dalam politik, bisnis, pemerintahan, dll. Berbagai hambatan dan tekanan tentu selalu ada dalam setiap peran yang diambil oleh seorang perempuan oleh karena itu diperlukan  pribadi yang matang  sehingga dapat mengambil peran sesuai dengan kemampuan diri. Perempuan masa kini harus terus mengembangkan diri, tidak stagnan, dan belajar cepat. Belajar bukan hanya tugas mahasiswa atau seseorang yang sedang menempuh pendidikan. Belajar dilakukan seumur hidup seperti yang tertulis dalam hadist bahwa belajar itu dari buaian hingga liang lahat. Menjadi pendidik pertama anak manusia bukanlah hal yang mudah. Semakin hari, serangan akan nilai-nilai yang buruk begitu kuat sehingga seorang perempuan harus membekali anak-anaknya agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Bekal-bekal ilmu ini yang harus terus dipelajari oleh seorang perempuan.  Dengan perempuan-perempuan yang cerdas maka dapat lahir generasi-generasi cerdas yang dapat membawa bangsa menuju arah yang lebih baik.


Feb 3, 2015

KEPO dan FoMO

Akhir-akhir ini para pengguna situs jejaring sosial sudah banyak yang sudah kena sindrom-sindrom berbahaya yang bisa mengancam kesehatan psikologis mereka. Salah satu sindrom yang paling terkenal adalah KEPO. Meski sudah banyak orang yang menggunakan tema ini sebagai bahasa sehari-hari, tapi masih banyak juga orang yang belum mengetahui kepanjangan dari KEPO itu sendiri. 

KEPO itu singkatan dari Knowing Every Particular Object. Artinya itu “pengen tahu banget sesuatu secara detail”. Sebenarnya sindrom KEPO ini adalah hal yang sangat wajar, karena mengandung salah satu sifat manusia yang paling mendasar yaitu “sifat penasaran”. KEPO juga bisa sangat bermanfaat kalau kadarnya sedang, tidak terlalu freak. Nah yang bahaya itu adalah juga sindrom ini sudah masuk ke stadium empat. 

Sindrom KEPO yang sangat berlebihan ini biasa diderita oleh para pengguna situs jejaring sosial. Banyak dari mereka selalu merasa penasaran tentang apa saja yang orang lain lakukan, terutama bagi seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. Gejalanya bisa timbul kalo lagi gak ada kerjaan. Biasanya dimulai dari baca-baca status orang lain, atau liat status relationship di profil orang yang di KEPOin. Hal ini berlanjut ke season Tanya jawab yang berkepanjangan.
Sifat KEPO yang berlebihan ini tentu saja memiliki efek yang berbahaya, diantaranya :
  • Dengan ke-kepo-an kita, kita dapat menuai musuh. Karena banyak orang yang ga suka dengan sikap kepo kita. Apalagi jika orang tersebut merasa kita sudah mengganggu privacy dia.
  • Ketika ikut campur masalah orang lain, kita harus siap untuk terlibat penuh dalam masalah tersebut. Termasuk mencari cara untuk menyelesaikannya. Bukan ga mungkin, kita mala terjebak ikutan kena masalah.
  • Rasa keingin tahuan kita bisa mensmbah problem dalam hidup kita.Sebenarnya masalah kita sudah berjibun banyaknya, tapi karenakepo, kita jadi harus memikirkan masalah oranglain pula. Akhirnya permasalahan hidup kita jadi menumpuk dan bikin pusing mencari solusi masalah tersebut.
  • Salah satu kerugian jadi kepo adalah orang jadi memandang rendah kita karena selalu mencampuri urusan orang lain tanpa diminta.
Parahnya, belum lama istilah KEPO ini muncul ke permukaan. Ada lagi istilah baru yang masih berhubungan dengan sindrom akibat dunia maya. Sindrom itu bernama FoMO, FoMO singkatan dari Fear of Missing Out. 

Para penderita FoMO biasanya mulai keasikan dengan notifikasi yang ada pada situs jejaring sosial. Mereka sangat terobsesi dengan pengalaman yang telah dilalui oleh orang lain, hingga lupa dengan kehidupannya sendiri. 

Sindrom FoMO ini bisa terjadi ketika anda sedang asik bermain dengan situs jejarin sosial, dan orang-orang atau teman-teman anda sedang asik membicarakan sesuatu. Dan akhirnya anda merasa sedih atau takut ketika ternyata anda ketinggalan informasi tersebut meski informasi itu tidak penting. Sejak dari situ anda mulai gila informasi, terutama yang berhubungan dengan pengalaman orang lain. 

Menurut ketua tim peneliti, psikolog Dr. Andy Przybylski, FoMO sendiri sebenarnya bukanlah hal baru. “Yang baru adalah peningkatan penggunaan media sosial dan hal itu menawarkan semacam jendela baru untuk melongok ke dalam kehidupan orang lain. Tapi bagi orang yang memiliki kadar FoMO tinggi hal ini bisa menimbulkan masalah karena mereka cenderung selalu mengecek akun media sosialnya untuk melihat apa saja yang dilakukan teman-teman mereka hingga mereka rela mengabaikan aktivitasnya sendiri,” katanya.

Untuk itulah, kita harus tetap waspada. Kehidupan jejaring sosial memang bisa mendongkrak popularitas kita dan bisa menambah jaringan pertemanan kita. Tapi jangan sampai kita terjebak dalam dunia yang maya itu. Kita harus tetap menyeimbangkan kehidupan sosial di dunia cyber, juga di dunia nyata, agar kita terhindar dari sindrom-sindrom berbahaya macam KEPO dan FoMO. 


Aku Rindu