Jan 9, 2015

Pakaian Istri, Kemuliaan Suami


Saya memiliki seorang teman yang terbiasa menjadikan istrinya sebagai bahan lelucon. “Bawel banget, lu! Kayak istriku!” Katanya suatu hari. Di lain kesempatan, dengan bangga dia menghina istrinya sendiri dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu, katanya, “Gendut-gendut gitu juga istriku! Aku tidur nggak perlu nyari kasur!”


Ungkapan-ungkapan semacam itu biasa terdengar di keseharian. Para suami, atau mungkin juga istri, dengan enteng menyepelekan pasangan masing-masing di hadapan orang lain. Menyebutnya ‘kampungan’, ‘matre’, ‘letoy’, ‘lemot’ atau sebutan-sebutan lain yang bernada merendahkan. Saya pikir ini bukan tentang selera humor. Ini tentang sebuah cara pandang.


Dulu saya pernah menulis sebuah status di Media sosial, menceritakan teman saya lainnya yang mengejek selera fashion istrinya sendiri. “Selera istriku payah banget!” Umpatnya. Tak cukup sampai di situ, teman saya masih memperpanjang keluhannya, seolah memberi pembenaran, “Maklum, orang kampung!” Ujarnya. 


Apa yang aneh dari peristiwa itu? Tampaknya memang sederhana saja, sebagaimana ia lazim terjadi di keseharian. Tetapi kadang-kadang kita gagal mengambil ‘sudut pandang’ mengapa pernyataan-pernyataan semacam itu tidak seharusnya diucapkan seorang suami untuk istrinya—begitu juga sebaliknya. Tentu saja ini soal cara pandang. Ihwal ‘selera yang buruk’, memberitahu kita sesuatu yang penting: Suami yang menjelekkan selera istrinya lupa bahwa ia juga bagian dari selera sang istri. Begitu juga sebaliknya, istri yang menertawakan selera suaminya sebenarnya sedang menertawakan dirinya sendiri, karena ia juga bagian dari ‘selera suaminya yang buruk’ itu. Masuk akal, kan?


Sampai di sini, menghargai pasangan adalah juga soal menghargai diri sendiri. Maka memuliakan dan membahagiakan pasangan juga sebenarnya merupakan upaya untuk memantaskan diri menjadi seseorang yang mulia dan bahagia. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187 memberi amsal menarik soal kedudukan suami di hadapan istrinya serta kedudukan istri di hadapan suaminya, “…Istri-istrimu adalah pakaian bagi kamu sekalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”

Banyak dari kita memahami ‘pakaian’ sebatas penutup tubuh, kain yang membungkus aurat dan melindungi kulit dari panas dan dingin. Tetapi jarang sekali yang melihat ‘pakaian’ suami bagi istrinya, juga sebaliknya, sebagai lambang harga diri dan kemuliaan. Saya ingat suatu ketika Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan pakaian sebagai ‘akhlak’ atau ‘kemuliaan’ manusia yang membedakannya dari binatang. Kata Cak Nun, “Kalau engkau tidak percaya, berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau [akan] kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai.”

Jika istri adalah pakaian suaminya dan suami adalah pakaian istrinya, maka masing-masing mereka adalah lambang kemuliaan bagi yang lainnya. Akhlak suami tercermin dari kualitas individu seorang istri dan kemuliaan seorang istri tercermin dari perilaku, kata-kata, dan integritas suaminya. Pada titik ini, kita jadi paham, kan, mengapa istri perlu berbakti pada suami dan suami perlu memuliakan istrinya? Sebab suami yang merendahkan istrinya adalah laki-laki yang mengoyak-ngoyak pakaiannya sendiri… dan istri yang tak setia dan tak berbakti pada suaminya adalah perempuan yang menelanjangi kemuliaan sekaligus harga dirinya sendiri.

Kembali pada kasus teman saya. Lantas, apakah mengolok-olok istri di hadapan orang lain adalah perkara sepele dan urusan ‘selera humor’ belaka? Seorang laki-laki yang merobek-robek pakaiannya sendiri di depan umum, membiarkan dirinya telanjang dan kehilangan harga diri, hanya patut dikasihani!

Jadi, ini memang soal cara pandang. Sungguh aneh jika para suami ingin dipandang terhormat di hadapan teman-teman dan koleganya, tetapi tak pernah merawat dan menghias ‘pakaian’-nya. Betapa mengherankan jika para istri ingin tampil cantik dihadapan siapa saja, tetapi pada saat bersamaan tidak memedulikan ‘pakaian’ mereka sendiri.

Akhirnya, sangat masuk akal jika di bagian lain Al-Quran mengatakan bahwa laki-laki yang baik diperuntukkan untuk perempuan yang baik dan perempuan terbaik hanya dipersiapkan untuk laki-laki terbaik. Mereka akan saling merawat ‘pakaian’ masing-masing dengan berakhlak baik pada satu sama lainnya. Selayaknya pakaian yang menunjukkan kemuliaan, ia bukan sekadar melekat pada kulit, tetapi melindungi dari cuaca buruk, menutupi aib pada tubuh, menghiasi diri di hadapan tatap mata dunia.

Barangkali inilah saatnya memuliakan pasangan kita, seperti diri yang setiap hari bersolek menjelang pesta… mengenakan pakaian terbaik yang kita punya, berjalan dengan hati-hati menghindari apapun saja yang bisa mengotorinya, menjaganya, merawatnya, membanggakannya. Mulailah dari yang paling sederhana, tersenyumlah pada istri atau suami Anda, sekarang atau sebentar lagi… tatap mereka dengan rasa bangga, sesekali puji mereka. Jika mereka sedang tak di dekat Anda, ambil kamera dan berfotolah. Di antara hal-hal istimewa dalam rumah tangga adalah saat seorang istri tersenyum tulus di hadapan suaminya.

Selamat mengenakan pakaian kemuliaan Anda masing-masing.



Rindu



Kalau rindu berwujud air, aku mampu menghilangkan dahaga di seluruh dunia
Kalau rindu berwujud bunga, aku sudah gila seharian tertawa di taman nirwana
Kalau rindu berwujud pelangi, paling tidak aku sudah membuat jutaan senyum
Kalau rindu berwujud udara, aku bisa membaginya dengan semua mahluk, bahkan pada cacing dalam tanah.


Nyatanya rinduku seperti belati, habis aku disayat-sayat
Nyatanya rinduku seperti api, sudah sehitam arang aku masih berdiri tegak, meminta dibakar sekali lagi
Nyatanya rinduku seperti badai, dihajar berkali-kali, terhempas begitu jauh, lalu dikembalikannya aku ke tempat semula
Nyatanya rinduku seperti maut, membuatku mati mengenaskan, sekali-dua kali, aku tak juga jera.


Jika rinduku jauh lebih besar dari aku sendiri begini, katakan, dengan apa aku akan mampu menahannya?

Medio 29 Juli '2010


Utk yang jauh disana
aku mungkin tidak mengenalmu, tetapi aku memberanikan menulis surat ini
setiap saat setiap waktu aku selalu melihat memandang fotomu,aneh rasanya saya senang atau jatuh cinta tampa mengenalmu, dgn surat ini saya hanya ingin lbh dekat mengenalmu , syukur syukur kamu lbh dapat mengenal.pribadi ku,
jujur , aku takut utk menyapamu , karena kau lbh dari segalanya, kau yg jauh disana sudikah aku mengenal dirimu   aku hanya ingin menulis puisi ini Aku Tak Bisa Berbahasa Cinta Seperti Inginmu... Aku Bukanlah Ahli Tafsir Yang Bisa Menterjemahkan Pandangan Matamu Maupun Setiap PerkataanMu... Aku Bukan Pula Malaikat Yang Bisa Terbang Menembus Mimpi-MimpiMu... Yang Aku Tahu Dan Yang Aku Bisa Hanyalah MENCINTAIMU Hingga Suatu Saat Aku Bisa dekat dgnmu dan saling mengerti , utk indrajied


Saat pertama air mata menodai garis-garis tinta di atas kertas, menyatukan kata-kata dan rahasia jiwa, inilah yang aku tulis.Sebenarnya aku tidak tahu apa yang aku tulis ini, aku hanya mencoba berikan jiwaku untuk terbang di atas kata-kata. Jiwaku yang di siksa oleh kesengsaraan dan disenangkan cinta yang memindahkan kesedihan dalam kebahagiaan dan kehampaan dalam kesenangan.Terkadang aku melihat diriku terbangun dalam ketaksadaran, mendengar apa yang tak aku dengar, melihat apa yang tak aku lihat, merenungi apa yang tak aku pahami, tersadar untuk apa yang tak aku ketahui dan kudapati mimpi-mimpi telah membohongiku tetang hadirmu.Dimanakah engkau kekasihku, jiwaku memanggilmu dari balik lautan ketakutan. Apakah engkau mendengar panggilanku dan kesedihanku dari seberang lautan.Apakah engkau melihat kelemahan dan kesengsaraanku, apakah engkau tahu kesabaran dan ketahananku, apakah tak ada jiwa di udara yang mampu mengantarkan nafas penderitaan seorang manusia yang sekarat dan membawa ratapan kekasih yang merindu.Dimanakah engkau hidupku, kegelapan telah memelukku dan kesedihan membanjiriku. Engkau memberiku batas ujian yang begitu berat namun satu hal yang perlu engkau ketahui, cintaku untukmu tak sebatas kata yang terucap dari lidahku, cintaku padamu tak sebatas rasa dari dalam hatiku. Maukah engkau satu cabang denganku dalam tubuh kehidupan, Maukah engkau satu kata denganku dalam bibir Tuhan.



Itu surat yang dikirimkan ke aku dari seseorang yang waktu itu memang tidak aku kenal, seseorang itu hanya berteman di media sosial saja, bertemupun juga tidak pernah, tapi isi suratnya begitu dasyatnya yeee....hehehee..., Ehh kok yo njelalah suratnya kagak nyampe alias nyangkut di kantor pos, gara gara no alamatnya salah, waktu itu nulis suratnya di Bali tanggal 29 juli 2010 malam, besoknya dikirim pas tanggal kelahiranku 30 juli 2010, sampai sekarang tetep suratnya masih nyangkut di kantor pos, lah kok aku bisa nulis surat itu disini ya ? Nah itu dia pakai felling aja sih, moga moga aja bener isi suratnya kayak gitu yee....


Awal baca aku kaget dan kaget, aneh tapi nyata, kenyataanya emang gitu sih. Eh... mas paijoku sayang, kalau baca jangan ikut kaget juga donk, pasti kelingan waktu nulis beberapa tahun yang lalu ya, udah ahh jangan bengong gitu, aku jadi binggung nich.., tapi yang jelas kenyataanya jadi bersama sama kan ? Seperti apa yang selalu di dalam doa'mu, Amin....


Akirnya jawaban surat 29 Juli 2010 baru ke jawab sekarang, jawabannya ,
I LOVE YOU...., I LOVE YOU....., I LOVE YOU....
Mas paijoku sayang emuachhh...

By Indrajied'

Aku Rindu