Aug 8, 2014

Mengenal Narsis Negatif dan Narsis Positif



SECARA ekstrim, dunia ini sebenarnya terbagi menjadi dua sisi, yaitu sisi negatif dan sisi positif. Berlaku dalam segala hal. Termasuk juga dalam perilaku manusia yang disebut narsis. Ada narsis negatif dan ada juga narsis yang positif.

A.Definisi narsis secara umum (konotasi negatif)
1.Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000):
“Orang yang narcissistic atau narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian.


2. Rathus dan Nevid (2000) dalam bukunya, Abnormal Psychology :
Orang yang narsistik memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian (Kompas, Jumat, 01 April 2005).

3. Papu (2002) yang mengutip DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition)
“Orang yang narsistik akan mengalami gangguan kepribadian, gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian narsisistik atau narcissistic personality disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.”

 B.Unsur-unsur narsis
Dari definisi-definisi di atas bisa disimpulkan adanya beberapa unsur narsis:
-Memandang dirinya secara berlebihan (paling penting,paling mampu,paling unik dan paling lainnya)
-Senang menyombongkan diri
-Mengharap adanya pujian dari orang lain

 C.Definisi narsis secara umum (konotasi positif)
Dari hasil pengamatan penulis, tidak semua narsis itu negatif. Sebab ada juga yang tergolong narsis positif, yaitu “Berusaha menunjukkan dirinya memiliki kelebihan dari orang lainnya dengan tujuan demi kepentingan promosi, persaingan sehat ataupun memotivasi orang lain”. Memang terkesan sombong, namun sebenarnya tidak sombong. Terkesan mengharapkan pujian dari orang lain, padahal tidak demikian maksudnya.

a.Contoh narsis untuk kepentingan promosi
Seorang pengusaha yang selalu berpakaian rapi,unik,tentu berharap agar menjadi perhatian orang lain. Bukan untuk memuji dirinya tetapi dengan tujuan supaya orang tahu siapa dirinya. Dan kemudian orang akan berkomentar “Oh, dia pemilik Resto C’Bezt”, “Oh,dia pemilik Lembaga Pendidikan Komputer
INDODATA”, dan lain-lain.

b.Narsis untuk kepentingan persaingan yang sehat
Dalam hal ini adalah persaingan pribadi. Biasanya di kalangan artis. Tiap artis berlomba untuk menjadi lain daripada yang lain, terutama dari caranya berpakaian, dari caranya bercanda, dari caranya bicara,dari model rambutnya, dari model bajunya dan lain-lain. Misalnya, Gogon terkenal karena punya model rambut yang lucu, Tessy yang selalu berpakaian wanita dan lain-lain.

c.Narsis dalam rangka memotivasi orang lain
Yaitu selalu berusaha tampil lain daripada yang lain, baik melalui tulisan maupun ucapan. Misalnya, penulis (Hariyanto Imadha), selalu membuat artikel-artikel yang bersifat lain daripada yang lain di berbagai blog. Bersifat mencari perhatian orang lain. Hasilnya, ada beberapa orang yang meminta penulis menjadi pembicara di radio, ada beberapa mahasiswi yang minta petunjuk cara belajar yang efektif dan lain-lain. Bahkan hasil inovasinya berupa kanopi motor yang bersifat narsis, membuat hasil inovasinya dimuat di tabloid Peluang Usaha No.18 Tahun 2011, mendapat Award dari Yayasan Citra Profesi Indonesia,23 Juli 2011 dan ditayangkan dalam acara Sang Kreator, Trans7, 14 April 2012.

Kesimpulan
Narsis dalam arti positif atau berkonotasi positif juga punya ciri-ciri memandang dirinya lebih dari yang lainnya,terkesan menyombongkan diri dan mengharapkan pujian dari orang lain. Namun semuanya dengan tujuan yang positif, yaitu demi kepentingan promosi, persaingan sehat, memotivasi orang lain dan tujuan-tujuan positif lainnya.
Dengan demikian, apakah sebuah perilaku narsis itu positif atau negatif, juga harus dilihat dari “tujuannya”. Tidak berhenti pada tingkah laku atau perilakunya saja. Kalau tujuannya negatif, maka termasuk narsis negatif. Kalau tujuannya positif, maka termasuk narsis positif. Sejauh narsis tidak merugikan diri sendiri atau orang lain, narsis boleh-boleh saja.

Sangat disayangkan bahwa semua buku-buku psikologi hanya melihat narsis dari segi negatifnya saja, tanpa melihat tujuan-tujuannya.

Mengenal Pribadi Positive Thinking Dan Negative Thinking



DALAM kehidupan sehari-hari kita pasti pernah mengalami penilaian-penilaian negatif dari orang lain. Kita selalu dianggap salah, padahal belum tentu salah. Kita sering dikritik, padahal belum tentu kita mempunyai kekurangan. Kita sering dinilai negatif, padahal belum tentu negatif. Artinya, kita sering menghadapi orang-orang yang mempunyai kepribadian “Negative  Thinking”. Artikel ini penulis ambil dari pengalaman pribadi yang penulis kumpulkan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu di dalam contoh-contoh, penulis menggunakan kata “Saya”.

Apakah positive thinking itu?
Positive thinking yaitu orang yang selalu berpikir positif dalam menghadapi banyak hal. Yang negatif memang ada, tetapi yang dilihat adalah sisi-sisi positifnya sedangkan sisi-sisi negatifnya sedapat mungkin jangan sampai dimunculkan. Cara berpikirnya positif karena tujuannya positif.


Ciri-ciri positive thinking
-Tujuannya positif
-Bisa menerima pendapat orang lain walaupun berbeda
-Tidak suka membantah
-Tidak suka berdebat
-Berusaha memberikan pengertian dan pencerahan
-Bersikap menghargai orang lain
-Memahami cara berpikir orang lain
-Mencari dan mendapatkan kebenaran
-Tidak pernah salah paham
-Kreatif dan suka berkarya
-Tidak suka mencela melainkan meluruskan pendapat yang salah
-Selalu punya persepsi positif
-Selalu melihat masalah secara objektif (berdasarkan fakta)

Apakah negative thinking itu?
Negative  thinking yaitu orang yang selalu berpikir negatif dalam menghadapi banyak hal. Yang positif memang ada, tetapi yang dilihat adalah sisi-sisi negative  sedangkan sisi-sisi positifnya  sedapat mungkin jangan sampai dimunculkan. Cara berpikirnya negatif karena tujuannya negatif.

Ciri-ciri negative thinking
-Tujuannya negatif
-Selalu membantah pendapat orang lain yang berbeda
-Suka membantah (selalu membenarkan pendapatnya sendiri)
-Suka berdebat
-Berusaha membenarkan pendapatnya sendiri dan suka menyalahkan pendapat orang lain
-Bersikap tidak menghargai orang lain
-Tidak mau atau tidak mampu memahami pikiran orang lain
-Mencari dan mendapatkan “kemenangan”
-Sering salah paham
-Tidak kreatif dan tidak punya karya
-Suka mencela dan merasa pendapatnya yang paling benar
-Selalu punya persepsi negatif
-Selalu melihat masalah secara subjektif (tidak berdasarkan fakta)

Beberapa contoh
Berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa positive thinking yang selalu dipersepsikan secara negative thinking.

1.Dianggap bodoh karena tidak memakai gelar sarjana
Positive thinking:
Sejak diwisuda, saya boleh dikatakan tidak pernah memakai gelar sarjana. Tujuannya, saya ingin memberikanpencerahan ke masyarakat bahwa memakai gelar sarjana itu ada waktu dan tempatnya. Antara lain untuk kegiatan-kegiatan ilmiah. Gelar sarjana juga harus ditulis pada hal-hal yang relevan, misalnya kalau dalam kaitannya dengan profesi.

Negative thinking:
Karena saya tidak pernah memakai gelar sarjana, maka orang sering menganggap saya lulusan SMA. Bahkan dianggap orang bodoh, wawasan berpikirnya sempit dan pendapat-pendapat saya selalu disalahkan. Biasanya itu dilakukan oleh orang-orang yang belum mengenal saya secara pribadi, secara langsung atau tidak pernah sekampus dengan saya.

2.Dianggap tidak mengerti karena menggunakan istilah lain
Positive thinking:
Saya jadi nasabah bank itu sudah 30 tahun lebih dan suka berpindah-pindah bank. Suatu saat saya cerita ke teman-teman bahwa saya berhasil nego bunga deposito dari 4,25% per bulan menjadi 6,5% per bulan.
Negative thinking:
Teman-teman sayapun langsung menganggap saya tidak mengerti perbankan. Pendapat saya disalahkan. Katanya, bunga perbankan itu dihitung pertahun dan bukan per bulan. Padahal, kalau saya mengatakan bunga 6,5% per bulan itu maksudnya adalah bunga 6,5 % X pokok deposito/12. Hasilnya kan sama dengan 6,5% X pokok deposito per tahun dibagi 12.

3.Dianggap tidak mampu membeli mobil karena naik motor terus
Positive thinking:
Saya sejak SMA memang punya hobi naik motor. Bahkan punya cita-cita membuat motor amfibi. Naik motor praktis, hemat dan bisa mengatasi kemacetan lalu lintas.
Negative thinking:
Banyak orang, baik teman maupun tetangga yang menilai saya tidak mampu membeli mobil. Itu bias saya ketahui dari caranya mereka berbicara. Padahal, sebetulnya saya mampu membeli mobil tapi tidak membeli mobil karena alas an efisiensi.

4.Dianggap tidak mengerti karena tak pernah mengatakannya
Positive thinking:
Saya banyak sekali punya gagasan atau ide dan saya usulkan ke pemerintah. Banyak yang sudah direalisasikan pemerintah. Antara lain usul pengindonesiaan gelar sarjana, busway, peninggian separator busway, usul nama-nama halte bus,usul KTP Nasional dan E-KTP dan masih banyak lagi.
Negative thinking:
Orang yang tidak tahu, akan selalu menyalahkan saya kalau saya bicara tentang E-KTP atau mengritik pelaksanaan E-KTP yang saya nilai kurang sempurna. Padahal, saya sebagai pengusul KTP Nasional dan E-KTP, tentunya sangat memahami sekali soal-soal yang berhubungan dengan KTP Nasional maupun E-KTP. Rasanya lucu kalau saya yang mengusulkan E-KTP dianggap tidak mengerti E-KTP.

5.Dianggap meremehkan atau menganggap orang lain bodoh karena sering menggunakan kata koplak, bodoh, dungu, goblok dan semacamnya
Positive thinking:
Sebagai penulis kritik pencerahan (sejak 1973) tentu saya menggunakan bahasa yang berbeda. Ada kritik lunak, kritik sedang dan ritik keras. Kalau di surat kabar, saya menggunakan kritik lunak. Di blog/website saya menggunakan kritik sedang. Sedangkan di media social, saya menggunakan kritik keras. Antara lain menggunakan kata bodoh, dungu, bego, koplak, blegug an semacamnya (tanpa menyebutkan namanya). Tujuannya adalah sebagai “shock therapy”.
Negative thinking:
Namun, pembaca yang tidak faham psikologi-bahasa, akan menilai saya suka membodoh-bodohkan orang lain, suka meremehkan orang lain, suka menganggap orang lain bodoh, dianggap tidak menghargai orang lain, dianggap vulgat/kampungan, dianggap menyinggung perasaan orang lain dan semacanya. Padahal, mereka adalah orang-orang yang GR (gede rasa) karena artikel maupun tulisan-tulisan saya bersifat umum (tidak menyebut nama), kecuali nama buruk seseorang sudah diketahui umum. Misalnya, Anas Urbaningrum, Nazarudin dan lain-lain. Memang sulit menghadapi orang-orang yang GR.

6.Dianggap pamer ilmu atau sok pintar padahal mengamalkan ilmu
Positive thinking:
Sebagai penulis kritik pencerahan, tentu saja medianya adalah tulisan. Tentunya tulisan berbentuk artikel itu saya dukung kompetensi saya. Misalnya tentang psikologi, ilmu logika, ilmu ekonomi, politik, hokum, bahasa, computer dan lain-lain. Kebetulan saya banyak yang tahu karena sejak SMP saya punya hobi mebaca dan punya perpustakaan pribadi hingga ribuan buku. Nah, karena saya punya banyak ilmu, maka sebagai seorang muslim, saya mempunyai kewajiban untuk berbagi ilmu atau mengamalkan ilmu terutama tentang hal-hal yang jarang diketahui masyarakat luas.
Negative thinking:
Namun orang yang berkepribadian negative thinking salah paham. Mengira saya pamer ilmu, sok pintar, sarjana teoritis, tidak ilmiah, tidak bermutu, sokn tahu, sok mengerti. Bahkan saya dikatakan tidak mengikuti filsafat padi (semakin berilmu semakin merendahkan diri). Padahal yang saya anut adalah filsafat air terjun, di mana airnya mengaliri sawah-sawah supaya sawahnya subur. Artinya, saya mengamalkan ilmu dengan tujuan mencerdaskan bangsa.

7.Dianggap menghina agama Islam padahal yang dikritik adala perilaku orang Islamnya
Positive thinking:
Kalau saya mengritik, tujuannya pastilah positif. Apalagi kritik pencerahan. Misalnya, saya mengatakan sebagian umat Islam itu jorok. Buktinya, selesai shalat Ied sampah-sampah k9ran yang dibawa para jemaah, dibuang di sembarang tempat. Mengotori lapangan. Padahal, sampah-sampah itu bisa dibuang ke tempat yang seharusnya.
Negative thinking:
Namun, orang yang negative thinking menganggap saya menghina agama Islam. Padahal, yang saya kritik adalah sebagian orang Islam yang jorok. Tidak ingat ugkapan bahwa “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiripun mengajarkan kebersihan. Kebersihan itu berlaku di mana-mana, tidak cuma di masjid. Mengritik orang Islam yang jorok tidak sama dengan mengritik agama Islam. Sangat berbeda.

8.Dianggap alergi perbedaan pendapat. Padahal “berbeda pendapat” dan “asal berbeda pendapat” itu tidak sama
Positive thinking:
Bagi saya berbeda pendapat itu biasa-biasa saja. Bahkan tulisan-tulisan saya di berbagai surat kabar juga ditanggapi berbeda-beda. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Negative thinking:
Namun, orang yang negative thinking mengira saya alergi perbedaan pendapat. Padahal, bagi saya, “berbeda pendapat” dan “asal berbeda pendapat” itu tidak sama. “Berbeda pendapat” itu dilakukan orang yang punyakompetensi. Misalnya, orang yang faham Ilmu Logika akan berbicara dari sudut Ilmu Logika. Sedangkan “asal berbeda pendapat” itu orang yang berbeda pendapat tapi tidak punya kompetensi. Misalnya tidak faham Psikologi tetapi merasa mengerti psikologi.

9.Dianggap sombong karena menunjukkan jati diri
Positive thinking:
Memang, saya pernah kuliah di 6 perguruan tinggi. Yang selesai 3 PT danyang tidak selesai 3 PT. Tidak selesai karena ada peraturan dari Kemendikbud bahwa mahasiswa PTN tidak boleh kuliah merangkap di sesame PTN karena pengaruhnya terhadap banyaknya subsidi SPP yang hanya dinikmati saya dan mahasiswa PTN yang merangkap kuliah. Dianggap meruikan Negara. Tidak selesai kuliah tidak beraryi tidak engerti. Say tetap kuliah secara mandiri, yaitu membaca buku-buunya secara otodidak. Nah, kalau saya mengatakan saya alumni 6 perguruan tinggi, saya sebenarnya cuma ingin mengatakan bahwa saya punya kompetensi atau kemampuan.
Negative thinking:
Tetapi, bagi negative thinking, saya dianggap sombong. Menyombongkan diri. Pamer kalau saya pernah kuliah di mana-mana. Menganggap saya sok hebat, sok pintar sok pamer. Dianggap saya meremehkan orang yang hanya lulusan satu perguruan tinggi. Padahal, saya menilai orang bukan dari latar belakang pendidikannya, tetapi dari wawasan berpikirnya. Sedih, menunjukkan jati diri dengan maksud positif, justru dianggap sombong.

10.Dianggap merasa benar terus padahal kebetulan memang benar terus
Positive thinking:
Karena saya memahami Ilmu Logika, yaitu ilmu yang mempelajari cara berpikir yang logis dan enar, tentu setyiap kali saya berpendapat, dasarnya adalah Ilmu Logika itu. Artinya,kecil kemungkinannya apa yang saya katakana itu salah. Sebab, sebelum saya menulis atau berkata, format-format berlogikanya saya siapkan terlebuh dulu. Sehingga boleh dikatakan 99,99% yang saya katakan atau saya tulis adalah merupakan kebenaran.
Negative thinking:
Namun, orang yang tidak memahami Ilmu Logika menganggap saya selalu merasa benar. Selalu menyalahkan pendapat orang lain. Padahal apa yang saya katakana adalah memang benar, bukan merasa benar. Kalau orang lain salah, memang salah, bukannya saya selalu menyalahkan. Ilmu logika mengatakan yang salah harus dikatakan salah dan yang benar harus dikatakan benar.

11.Disalahkan karena tidak sependapat dengan pendapat orang lain
Positive thinking:
Karena saya paham Ilmu Logika, tentu mudah sekali mengetahui kesalahan pendapat orang lain. Kalau saya tidak sependapat, tentu saya punya argumentasi yang panjang lebar.
Negative thinking:
Tetapi yang saya alami adalah, justru saya yang disalahkan. Karena bagi mereka, kebenaran itu sifatnya relative. Mereka juga merasa pendapatnyalah yang benar atau lebih benar. Mereka tidak tahu bahwa kebenaran itu ada dua macam. Yaitu, kebenaran objektif dan kebenaran subjektif. Saya yang faham Ilmu Logika tentu selalu berorientasi pada kebenaran objektif. Argumentasinya tentu cukup panjang.

12.Dianggap logikanya salah padahal memahami Ilmu Logika
Positive thinking:
Sebagai penulis kritik pencerahan, tentu punya tujuan meluruskan logika-logika yang bengkok. Misalnya, ada anggapan bahwa memilih dalam pemilu itu wajib. Padahal, memilih adalah “hak”, bukan “kewajiban”. Logika hak dan logika kewajiban pastilah berbeda.
Negative thinking:
Kenyataannya, banyak orang mencampuradukkan pengertian “hak” dan “kewajiban”. Bahkan ada yng anti golput, sinis terhadap golput, menyalahkan orang yang golput, menilai negative orang yang negative. Semua yang dikatakan tehadap golput bernuansa negative. Maklumlah, cara berpikir merka “negative thinking”.

13.Dianggap tidak menghargai pendapat orang lain padahal menunjukkan bahwa pendapat orang lain keliru
Positive thinking:
Saya kadang-kadang hal-hal yang sebenarnya. Mengatakan kebenaran. Tentu, saya kadang-kadang meluruskan pendapat orang lain yang salah. Argumentasinya pasti ada. Saya mengatakan salah atau benar karena berdasarkan Ilmu Logika yang saya pahami.
Negative thinking:
Lucunya, kalau saya mengatakan pendapat orang lain salah (wwalaupun secara diplomatis), dianggap saya tidak menghargai pendapat orang lain. Padahal salah atau benar itu ada caranya untuk menilainya. Memang, setiap orang merasa pendapatnya benar. Tetapi itu adalah kebenaran subjektif.

14 Dianggap bisanya cuma mengritik padahal salah satu aktivitasnya adalah sebagai “Penulis Kritik Pencerahan”
Positive thinking:
Sebagai penulis kritik pencerahan, kadang saya tulis di surat kabar, blog atau di Facebook. Semua tujuan kritik adalah baik, yaitu supaya yang dikritikkan sgera diperbaiki, Kritik disertai solusi atau tidak tergantung kepada siapa yang saya kritik. Juga, tergantung kepada masalah yang saya kritik. Kriti tidak harus disertai solusi atau saran,
Negative thinking:
Pastilah, ada suara-suara sinis yang mengatakan saya bisanya Cuma mengritik. Katanya, penulis kritik belum tentu bias melaksanakan, belum tentu bias berbuat lebih baik. Kalau orang mengritik harus bisa juga melakukannya, tentu ini logika yang lucu. Apakah kalau saya mengritik presiden, saya harus jadi presiden dan menunjukkan saya adalah presiden yang lebih baik? Apakah kalau saya mengritik seorang dosen, saya harus menjadi dosen? Apakah kalau saya mengritik ustadz, saya harus menjadi ustadz? Tentunya itu tidak realistis. Mengritik itu terbatas pada bagian-bagian tertentu saja.

15.Dianggap cuma teoritis saja
Positive thinking
Saya menulis artikel tujuannya adalah positif. Yaitu berbagi ilmu. Menyebaran ilmu. Turut mencerdaskan bangsa. Meluruskan logika-logika yang tidak lurus. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi masyarakat. Artikel-artikel ataupun tulisan-tulisan yang saya buat pastilah terinspirasi dari berbagai buku yang pernah say abaca. Tujuannya positif.
Negative thinking
Ada juga yang menilai secara negative. Katanya, saya ini hanya teoritis saja. Hanya berteori saja. Seolah-olah kalau berteori itu salah. Padahal, tanpa teori orang tidak mungkin bisa praktek. Lagipula teori itu berdasarkan berbagai referensi dari beberapa pakar di bidangnya. Teori bisa hasil daripada penelitian, observasi atau hasil pemikiran yang mendalam. Gagasan ataupun usul itu juga teori. Bahkan beribadah atau shalatpun ada teorinya. Membaca Al Qur’anpun ada teorinya. Sebua teori kalau dasarnya ilmu, tentu tidak ada salahnya. Pendapat pribadi kalau benar secara ilmu logika, juga tidak perlu dissalahkan. Masalahnya adalah, negative thinking menilai teori sebagai hal yang tidak ada gunanya. Cara berpikirnya nihilisme. Justru, negative thinking tidak ada manfaatnya.
Kesimpulan
1.Positive thinking biasanya dimiliki oleh orang yang punya wawasan berpikir yang luas, walaupun berpendidikan rendah sekalipun.
2.Negative thinking bias saja dimiliki oleh siapa saja, terutama oleh mahasiswa/sarjana yang wawasan berpikirnya sempit.

Semoga bermanfaat bagi semua.....

Aug 7, 2014

Wanita Pemimpin Tidak Boleh Cengeng



ADA anggapan, wanita itu mudah tersentuh hatinya dan boleh-boleh saja menangis. Itu manusiawi, katanya. Secara umum memang itu benar. Tapi kalau wanita itu menjadi seorang pemimpin, mulai dari menjadi ketua RT, lurah/kepala desa, camat, bupati, walikota, gubernur, menteri apalagi presiden, maka persoalannya menjadi lain. Sebab, untuk menjadi pemimpin banyak syarat-syaratnya. Antara lain harus mempunyai “leadership” yang kuat. Harus memiliki mentalitas yang kuat. Harus siap mental. Harus siap dikritik, dicela, dicaci maki dan harus berani dan tabah menghadapi tantangan.

Pemimpin
Betul kata Megawati, menjadi presiden itu lebih mudah daripada menjadi pemimpin. Sebab, salah satu syarat menjadi presiden adalah seseorang yang mempunyai mentalitas dan kemampuan seorang pemimpin. Terlepas apakah dia pemimpin berjenis kelamin pria maupun wanita. Seorang pemimpin harus mampu memimpin. Harus berani menghadapi tantangan-tantangan dan ancaman-ancaman. Dan mampu mencari solusi secara tepat. Seorang pemimpin harus mampu berpikir cerdas dalam menghadapi berbagai persoalan.

Contoh:
Masih ingat kasus Lurah Susan, Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan? Hanya karena dia nonmuslim, maka diapun didemo, dicaci-maki, dikatakan pemimpin kafir, haram, bahkan ada menteri yang mengusulkan supaya Lurah Susan dipindahkan. Tapi, apa yang dilakukan Lurah Susan? Menangis? Tidak. Lurah Susan tetap tenang. Tetap tabah. Akhirnya persoalanpun berlalu. Dan Lurah Susan tetap menjadi lurah.

Wanita menangis itu manusiawi?
Wanita menangis itu manusiawi?.Ya, tapi itu untuk wanita pada umumnya. Tapi kalau seorang wanita pemimpin menangis hanya untuk urusan politik atau sehubungan dengan jabatannya, tentu itu bukan sikap seorang pemimpin. Tidak boleh menggunakan kata “manusiawi” untuk seorang wanita pemimpin yang menangis dalam kaitannya dengan politik, jabatan atau kekuasaannya. Sebab, sebelum menjadi pemimpin, seorang wanita harus memiliki sikap mental yang tangguh.

Wanita-wanita pemimpin dunia
Banyak wanita yang menjadi pemimpin. Menjadi presiden, kepala negara, raja dan semacamnya. Pernahkan Anda melihat mereka menangis hanya untuk urusan politik, urusan jabatannya. Atau urusan kebijakannya, apalagi di TV? Tidak! Mereka boleh menangis kalau untuk urusan lain. Misalnya, menangis melihat rakyatnya ternyata masih banyak yang miskin, karena suami atau anaknya meninggal dan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan maupun kepemimpinannya.

Menjadi pemimpin memang tidak mudah
Menjadi pemimpin memang tidak mudah, apalagi kalau dia seorang wanita. Oleh karena itu seorang pemimpin harus melatih dirinya sendiri untuk tidak menjadi pemimpin yang cengeng. Harus siap menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Tidak boleh mengeluh, apalagi mengeluh dan menangis di TV.

Kata “manusiawi” harus ditempatkan pada tempat yang tepat
Dengan demikian, kalimat “wanita menangis itu manusiawi” harus diletakkan pada konteks yang tepat. Tidak boleh menangis untuk urusan kekuasaan atau kepemimpinannya. Apalagi di depan TV. Boleh menangis untuk urusan-urusan lain yang bersifat nonpolitik. Atau, menangislah tanpa diketahui publik.

Jangan menjadi pemimpin cengeng
Semua masyarakat di dunia tidak suka mempunyai pemimpin cengeng, baik pria maupun wanita. Sebab, masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang berani, tangguh, tabah, cerdas, takwa, jujur, bersih dan merakyat. Masyarakat dunia tidak ingin dipimpin seorang pemimpin yang cengeng, suka menangis, suka mengeluh atau suka curhat. Walaupun dia seorang wanita sekalipun.

Bagaimana dengan wanita pemimpin Surabaya?
Walikota Surabaya, Bu Risma (Tri Rismaharini), dalam acara Mata Najwa ataupun dalam berbagai kesempatan, selalu mengusap air matanya. Menangis. Bukan soal salah atau tidak salah, tetapi seorang wanita pemimpin tidak boleh cengeng. Menangisnya Bu Risma, hanya merupakan “solusi psikologis”, bukan “solusi politis”. Artinya, menangisnya Bu Risma, bukan solusi untuk  menyelesaikan masalah. Dan tidak menyelesaikan masalah.


Kesimpulan
-Sekali lagi, betul kata Megawati :” Menjadi presiden itu mudah, tetapi menjadi pemimpin itu sulit”.
- Oleh karena itu, kalau tidak siap menjadi pemimpin, jangan mencalonkan diri jadi pemimpin.
-Masyarakat tidak butuh pemimpin yang cengeng, suka menangis, suka mengeluh dan suka curhat.

Di kutip dari beragam sumber dari Pengamat perilaku.

Aku Rindu