Aug 2, 2014

Hidup Kita



Hidup ini tidak semudah kata-kata dalam tulisan. Siapa bilang seseorang yang menulis tentang hidup, ia mampu melakukan apa yang dia tuliskan. Kadang dan mungkin sering, apa yang dia tuliskan adalah hal-hal yang sebenarnya dia ingin lakukan. Dan di keseharian. Dia tidak bisa melakukannya, memendamnya, tidak bisa menggerakkan langkah kakinya.

Hidup ini tidak semudah kata-kata dalam tulisan. Tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi dibalik proses mengalirnya kata-kata. Ada yang harus menderita bertahun-tahun. Ada yang harus ketakutan bertahun-tahun. Ada yang harus bersembunyi dari setiap orang. Takut melihat dunia.

Kita tidak pernah bisa melihat rahasia kecuali menjadi rahasia itu sendiri.

Hidup ini tidak semudah cerita dalam buku-buku. Kita tidak menjadi tokoh di sana, kita adalah orang yang berbeda. Menulis ceritanya sendiri. Memendam aibnya sendiri. Memendam perasaannya sendiri. Kita hanya membaca, tidak lebih banyak dari itu.

Kita hanya bisa mengambil pelajaran di sana. Tapi sungguh, hidup ini tidak semudah tulisan ini sekalipun. Bahwa kehidupan memiliki banyak kemungkinan. Bahwa kita tidak bisa membaca halaman akhir hidup kita terlebih dahulu -sebagaimana buku- sebelum membaca dari awal.

Hidup tidak mudah bagi setiap orang. Tidak mudah untuk menjalaninya, sebagaimana kita sendiri menjalani hidup kita. Hanya saja, mereka tidak mau menunjukkan ketidakberdayaannya di depan kita. Setiap orang (hanya) akan menceritakan bagian terbaik dari hidupnya. Sulit untuk seseorang memberikan kepercayaan pada orang lain.


Bila Perjalanan Hidupmu Membuatmu Resah



Manusia senantiasa diliputi keresahan. Keresahan tentang hidupnya sendiri. Bagaimana bila ini dan itu. Pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya sendiri. Pertanyaan tentang hidupnya. Pertanyaan tentang masa lalu, hari ini, dan masa depan.

Bagaimana hari esok. Bagaimana bila orang lain tidak bisa menerimanya. Kapan menikah. Kapan memiliki anak. Kapan skripsi selesai. Mengapa dia tidak cantik. Mengapa dia tidak sepintar teman-temannya. Mengapa orang lain bisa sekolah keluar negeri. Mengapa ia tidak bisa membeli ini dan itu. Segudang pertanyaan yang selalu ada setiap harinya, berubah-ubah dan berulang-ulang.

Manusia sibuk mempertanyakan dirinya sendiri. Resah karena ketidakpastian. Lupa, bila kepastian itu bukan sesuatu yang datang sendiri. Tapi perlu diperjuangkan. Pertanyaan itu seharusnya bisa kita jawab sendiri dengan menggerakkan langkah kaki. Dengan bergerak menuju ke sana. Bukan diam di tempat dan bertanya-tanya.

Setiap langkah kaki kita akan menjadi catatan, setiap langkah kaki kita akan menjadi sesuatu yang membuat kepastian itu menjadi dekat. Kepastian tentu bukan sesuatu yang sama dengan harapan kita, akan tetapi kepastian memberikan jawaban yang jelas. Apakah pertanyaan kita terjawab ya atau tidak.

Keresahan itu kita buat sendiri. Keresahan itu kita ciptakan sendiri. Kita tidak tahu bagaimana hidup kita nanti, tapi kita memiliki hari ini. Hari ini kita bisa menjadi sebaik-baiknya orang dimuka bumi.


Kehormatan dalam Kata-kata




Ajining diri gumantung saka ing lathi.

Pepatah berbahasa jawa lama ini sangat bijaksana. Artinya kurang lebih "kehormatan diri tergantung kata-kata yang diucapkan". Di masa-masa pemilu presiden ini, saya berusaha memegang teguh prinsip tersebut. Saya memiliki pilihan saya sendiri dan saya memilih untuk mengamati. Bilapun berdiskusi, itu saya lakukan secara langsung (face-to-face).

Kita bisa melihat kecerdasan (baik itu emosi ataupun kecerdasan intelektual), kebijaksanaan, cara berpikir, pola logika dari bagaimana seseorang berbicara. Baik itu dengan bahasa lisan ataupun bahasa tulis. Dimasa ketika kelembutan hati dan kesantunan diuji saat ini. Saya lebih suka mengamati.

Saya mengamati bagaimana seseorang menuangkan pikirannya dalam status-status di halaman facebooknya. Bagaimana dia memilih kata. Bagaimana dia membalas pesan. Bagaimana teman-teman di facebooknya menanggapi. Kita sama-sama tahu bahwa bila kita ingin mengenal seseorang, kenalilah lingkaran pertemanannya.

Berbicara tentu saja tidak sekedar bahasa lisan, tapi juga bahasa tulis. Agak menyedihkan, banyak sekali dari kita (termasuk saya) kadang tidak bisa mengolah emosi kita dengan baik. Menulis sesuatu di laman dunia maya saat emosi masih meletup-letup. Belum bisa berpikir bijak.

Sangat disayangkan, orang-orang yang saya kenal cerdas tapi menjadi tidak lagi bijaksana. Saya menjadi paham bagaimana cara berpikirnya, bagaimana pengendalian emosinya, bagaimana karakternya. Kefanatikan membuat seseorang menjadi buta. Membuat seseorang menjadi tertutup pikirannya untuk menerima hal-hal diluar dirinya.

Saya tidak ingin membenci, saya juga tidak ingin membuat silang pendapat. Kita sering berpikir untuk saling mempengaruhi. Membuat orang lain meyakini apa yang kita yakini. Bahkan untuk hal yang jauh lebih besar dari itu, agama saya sendiri mengajarkan untuk tidak memaksakan sebuah keyakinan. Saya memilih berada di dalam nasihat itu.

Orang berpendidikan belum tentu bijaksana. Orang yang terpandang pun belum tentu berpikir panjang. Maka bila kita ingin tahu, lihatlah bagaimana perkataannya. Lihatlah bagaimana cara berpikirnya. Lihatnya bagaimana pilihan katanya. Kita akan mengenal seseorang dari cara berpikirnya, sesuatu yang akan menggerakan dirinya menjadi tingkah laku. Kita akan mengenal pikiran seseorang, bukan sekedar titel, almamater, ketenaran dan popularitas, atau label-label lain yang membuat seseorang terlihat terhormat atau terhina.

Manusia sering lupa bawa ada saja yang mencatat perkataan-perkataan kita hari ini. Tuhan Maha Pengampun, tapi internet tidak. Maka mari kita buat curiculum vitae yang baik di sini. Mari kita bijaksana menggunakan setiap media sosial yang ada.

Selamat melatih kehati-hatian dan kebijaksanaan :)


Mereka yang Belajar dari Kesalahan



Pada saat menjalani kehidupan kita masing-masing. Mungkin kita pernah berselisih dengan seseorang. Pernah menyimpan kekesalan dan kekecewaan. Pernah merasa dikhianati atau ditinggalkan tanpa alasan. Pernah dibohongi bahkan mungkin dijauhi. Hingga hubungan kita dengan orang tersebut sempat hilang beberapa lama, mungkin dalam hitungan tahun.

Dulu sewaktu muda terutama. Sewaktu emosi masih pada tahap pematangan. Sewaktu pikiran belum sepenuhnya berpijak. Sebelum kebijaksanaan hidup menghampiri. Sewaktu logika masih pendek. Sewaktu perasaan masih mendominasi.

Hingga pada suatu ketika, direntang waktu yang cukup lama kita kembali dipertemukan dengan orang-orang tersebut. Sejatinya kita tidak lagi benci, hanya sungkan saja ingin menyapa. Ada perasaan tidak enak. Ada perasaan enggan.

Saya percaya bahwa waktu turut mengubah seseorang. Orang yang dulu berbuat tidak baik kepada kita telah berubah. Orang yang dulu meninggalkan kita telah berubah. Orang yang dulu menyakiti kita telah berubah. Banyak yang telah menjadi orang baik, diantara mereka banyak yang telah menjadi bijaksana. Diantara mereka banyak yang telah mencapai banyak hal sementara kita sendiri tertinggal jauh.

Haruskah kita tetap membencinya? Mungkin perasaan ini bukanlah benci, hanya enggan untuk menyambung silaturahmi. Atau mungkin malu mengakui bahwa kita telah memaafkannya dan memulai silaturahmi.

Mereka adalah orang-orang yang berhasil belajar dari kesalahan. Kita tidak lagi bisa menyamakan mereka dengan beberapa tahun belakangan. Ketika dulu mereka membuat kesalahan, terutama kepada kita. Mereka adalah orang-orang yang berhasil keluar dari pikiran mereka tentang masalahnya. Bergerak sedemikian cepat untuk memperbaiki diri. Sementara kita mungkin masih menyimpan dengki, membuat kita terkurung pada prasangka tersebut dan menjadi lamban bergerak.

Harus kita akui. Memang mereka memiliki kesalahan kepada kita di masa sebelumnya. Ketika kita masih sama-sama muda, sama-sama emosional. Dan mereka telah belajar dari kesalahan sehingga membentuk mereka yang seperti sekarang. Begitu mengagumkan. Dan kita sungguh tidak bisa menilai mereka hanya karena kesalahannya di masa lalu kepada kita.

Ketika kita mampu menyadari itu semua. Kita telah belajar menjadi selangkah bijaksana. Memaafkan dan mengakui bahwa kita tidak belajar lebih banyak dari mereka. Dan kita tertinggal beberapa langkah.


Aku Rindu