Ketika lelah menuntut ilmu, ingatlah kali pertama ketika kita
gembira menggunakan seragam sebagai murid baru dan keluar dari rumah untuk
mengetahui seperti apa rasanya bersekolah, dulu. Bertemu teman sebangku,
membuka halaman sampul buku, mencium tangan ibu-bapak guru, berdiri untuk
berupacara dan maju ke depan kelas untuk bercerita tentang liburan di kampung
halaman.
Ketika lelah bergaul, ingatlah kali pertama ketika kita
gembira mendapatkan sahabat pertama dalam lingkungan sekitar, dulu. Mungkin
kita masih hafal nama lengkap, nama panggilan, bentuk rambut, bau badan, nada
bicara hingga kebiasaan makannya dengan merinci. Ia pernah kita daulat sebagai
tandem yang jagoan lagi tangguh untuk menamatkan siang-siang terik dengan
berjuta kesenangan.
Ketika lelah bekerja, ingatlah kali pertama ketika kita
gembira mengamati lekak-lekuk tempat kita mengawali karier dengan setiap
kekhasannya, dulu. Kita bersolek rapi untuk menentukan seperti apa
semestinya tahun pertama kerja ditamatkan bersama karpet yang tebal, kursi yang
empuk, pengharum ruangan beraroma segar, papan ketik yang mengkilat berseri
beserta rekan-rekan seperjuangan yang seru untuk diajak merumpi di jam makan
siang.
Ketika lelah menghadapi pasangan hidup, ingatlah kali pertama
ketika kita gembira meluruhkan ketegangan yang hebat dalam prosesi akad nikah
dulu. Ada sepasang orang tua yang puluhan tahun telah menumbuhkembangkan gadis
kesayangannya untuk secara rida direlakan kepada laki-laki dari antah berantah
yang tiba-tiba mengajakserta ibu-bapaknya ke rumah untuk mengkhitbah. Ada
keharuan beserta rasa bahagia yang pecah merekah.
Ketika lelah membesarkan anak, ingatlah kali pertama ketika
kita gembira melihat sesosok makhluk tak berdaya meluncur keluar dari rahim
istri di momen persalinan, dulu. Ada luapan emosi yang sulit digambarkan. Ada
ketakjuban, kegelisahan yang terbayar lunas ketika menyaksikan makhluk yang
tadinya hidup di balik perut angkat suara untuk pertama kalinya lewat
sepecah-pecahnya tangisan.
Ketika lelah menghadapi dunia, ingatlah kali pertama ketika
kita mulai berkesadaran dan melihat semesta yang begitu luas ini sebagai arena
bermain yang tak mengenal sekat juga batas. Setiap hal baru terus hadir di
hadapan mata dan tercatat di kolom “penemuan”dalam bank memori kita.
Hamparan sawah yang membentang, suara cicak di plafon rumah, aroma masakan
tetangga hingga kembang gula yang terasa bagai sajian dari surga.
Istimewa. Kali pertama terasa istimewa karena di baliknya
selalu tersembunyi gagahnya kebanggaan, ajaibnya pengalaman berikut lekatnya
kenangan. Kali pertama terasa istimewa karena belum tentu kegembiraannya persis
serupa di kali kedua. Lagipula, ia telah mengubah kita menjadi seseorang yang
berbeda dibanding sebelumnya. Untuk semua kebaikan itu, bukankah kemudian kita
layak bergembira dan berterimakasih?
Selebihnya, ambillah jeda sejenak. Pikirkan bahwa ada banyak
orang di luar sana yang masih menanti kali pertama yang pernah kita hadapi dan
kini tengah dihidupi kelanjutannya. Kita jelas perlu bersyukur untuk kali
pertama yang satu itu. Kita akan tersadar bahwa pengalaman manis yang hadir di
baliknya seringkali ampuh meredakan letih dan menjadi pengingat bahwa hidup
sungguh tak seburuk penglihatan kita.