Aku ingin pulang dan tersesat di dalam dada ibu.
Menerka-nerka isi kepalanya segala hal sedang ditimbang agar rencana tak mudah
tumbang begitu saja. Menerjang badai dalam lautan tenang dadanya.
Aku ingin pulang ke rumah menghirup aroma bumbu dari
dapurnya. Terong balado, daging rendang atau keperihan tentang masa lalu. Sejak
setia tidak lagi menjadi kata kerja bagi ayah, ibu tak pernah lagi memasak di
rumah. Ibu memasak mimpi-mimpinya di dapur negeri tetangga.
Aku hidup di antara orang-orang yang gemar menyakiti dirinya
sendiri. Sejak kata sejahtera telah lama dihapus Negara, aku lebih banyak
memikirkan diri sendiri. Ketika aku bersedih dan tak ada satu orang yang rela
ingin berbagi, aku ingin sekali memeluk ibu. Tetapi tangan dan angan-anganku
tak sanggup menjangkaunya.
Aku ingin sekali mengadu kepada ibu. Tentang kepedihan
hidup, orang-orang yang tak ingin tahu perasaanku dan ketakutan-ketakutan hari
esok. Mengadu layaknya anak kecil yang merengek kepada ibunya karena diganggu
oleh teman sekolahnya. Sayangnya pelajaran tentang bertahan hidup tak pernah
kutemui di sekolah mana pun.
Sungguh aku ingin mengenalkan kekasihku kepadamu, Ibu. Namun
setelah kepergiannya tak ada lagi yang tersisa kecuali rasa sakit yang sulit
dicabut. Hanya itu yang bisa kuceritakan kepadamu.
Aku adalah satu-satunya anak durhaka yang tidak tahu cara
mengucapkan maaf dan terima kasih kepada ibu. Aku menuliskan puisi ini untuk
ibu. Di setiap kalimat hanya berisi tentang aku dan ibu. Meskipun tak pernah
kukatakan langsung kepadamu, percayalah di antara keduanya terselip kata cinta.