Mar 18, 2016

Hati Perempuan

Hati perempuan ibarat bab per bab pada sebuah buku tebal. Perlu dipelajari sampai bisa memahaminya. Para pria sering menilai perempuan dengan sudut pandang yang berbeda. Ada yang menilai bahwa perempuan adalah makhluk kompleks yang sukar dipahami. Ada juga yang menilai bahwa hati perempuan terlalu lembut hingga rentan untuk menangis jika disakiti.

Padahal bukan seperti itu, hati perempuan tersusun dari hal-hal yang berbau kelembutan. Mungkin benar rentan dengan air mata. Tapi tahukah kalian, karena kelembutannya dia terkadang lupa caranya berbahagia. Dia mengabaikan logika dan sering mengikuti perasaannya. Bodohnya dia terkadang lebih rela tersakiti demi membuatmu bahagia.

Karena kelembutannya juga, dia mendorongmu dengan doa yang selalu ia panjatkan. Demi membuatmu bahagia dia rela mengorbankan kesenangannya. 

Terkadang kalian para pria lucu, sering menuntut perempuan untuk bersabar. Tapi pernahkah kalian tahu bahwa bersabar dan ikhlas adalah hal yang melelahkan? Dengan senyumnya dia selalu berkata ‘tak apa’ hanya demi meyakinkanmu bahwa dia baik-baik saja. Padahal sesungguhnya dia menyimpan kegetiran pada sikapmu yang kadang mengabaikannya.

Sesekali tengoklah hatinya. Tanyakan apa yang dia inginkan. Karena sesungguhnya dia tak menginginkan apapun selain kamu. Dia hanya ingin kamu ada dan memberikan satu waktu penuh bersamanya. Genggamlah jemarinya, dan beri kenyamanan bahwa kau tak akan pergi meninggalkannya. Sesungguhnya tak sulit untuk membuat bahagia. 
Karena terkadang alasan dia bahagia adalah kamu sendiri.

Menangislah

Akan ada hari di mana lelahmu terlalu banyak dan jumlahnya kian menumpuk. Hari di mana pundakmu tak lagi dapat menahan beban. Hari itu kamu akan jatuh tersungkup. Semuanya hanya bisa disuarakan melalui sujud beriring tangisan.

Jika hari itu adalah hari ini, menangislah! Mungkin ketika pipimu telah basah kamu akan berpikir bahwa kamu lemah. Tapi di sini aku hanya ingin mengingatkan bahwa kamu salah. 

Bahkan kamu begitu kuat dan hebat selama ini, jadi tidak masalah jika kamu menangis sekarang.

Menangislah sejadi-jadinya. Menangislah sekeras-kerasnya. Menangislah dalam keadaan sujud kepada-Nya. Sungguh tak ada tempat kembali paling baik selain kembali kepada-Nya.

Menangislah dan keluarkan seluruh sesak dalam dada. Menangislah… hingga hanya lapang yang tersisa.

Mar 17, 2016

Takkan Pernah Usai

Tiap kali jatuh dan merasa ingin berhenti, saya selalu berusaha meyakinkan diri: saya sedang berada di jalan yang benar.

Karena saya tahu ada masanya Rasulullah dilempari batu hingga giginya tanggal dan gusinya berdarah.

Karena saya tahu ada masanya Edison dikeluarkan dari sekolah karena dianggap bodoh dan tidak bisa belajar dengan normal.

Karena saya tahu ada masanya ketika Muhammad Ali direndahkan, Gandhi dimusuhi, dan Einstein dianggap gila.

Karena saya akhirnya paham, semua jalan yang benar itu sulit. Tapi layak diperjuangkan.

Tiap kali direndahkan dan merasa terpuruk, saya tahu saya belum cukup kuat.

Saya belum cukup kuat untuk berlari lebih kencang dan lepas landas untuk terbang.

Saya belum cukup kuat untuk berdiri tegak dan berteriak dengan lantang.
Tapi tiap kali saya berpikir untuk berhenti, saya tahu saya masih di sini.
Dan saya tahu bahwa saya tidak sendiri.

Saya tahu selalu ada sosok pahlawan di depan, orang-orang yang sayang saya di belakang, dan teman-teman seperjuangan yang ada di samping kiri dan kanan.

Saya tahu saya masih berjuang.

Dan saya tahu, sampai kapanpun, perjuangan takkan pernah usai.

Mar 15, 2016

Pasangan Suami Istri Yang Menjalani Hubungan Jarak Jauh

Ketika memikirkan tentang pernikahan, biasanya orang membayangkan bahwa kehidupan setelah menikah itu literally serba sama-sama dan bareng-bareng. Tinggal di bawah atap yang sama, tidur di kamar yang sama, bangun tidur sama-sama, shalat shubuh bareng, ngopi bareng, dan seterusnya.

Tapi tidak semua pernikahan bisa berlangsung sedemikian idealnya.

Seringkali pernikahan menyatukan jiwa dan hati, tapi raga tidak. Beberapa alasan membuat banyak pasangan harus berjarak cukup lama. Pendidikan, pekerjaan, anak, atau alasan personal lainnya.

Jika dalam keseharian kita mengenal istilah Long Distance Relationship untuk menggambarkan hubungan dua orang yang berjauhan tempatnya, dalam psikologi, kehidupan pernikahan dengan model seperti ini disebut dengan commuter marriage.

Dari cerita seorang teman yang sudah memasuki tahun ke-3 pernikahan, tak dinyana dia dan suaminya harus mengalami kondisi ini. Bertemu seminggu sekali, kadang berjumpa via WhatsApp. Sebelumnya mereka berdua tidak pernah mau tinggal terpisah untuk alasan apapun, tapi rupanya kehadiran anak bisa mengubah banyak hal, lho.

Untuk alasan pekerjaan, mereka memilih jalan itu. Realistis sekali, meski mengorbankan kebersamaan. Tapi tetap dalam proses mengusahakan agar bisa kembali bersama.

Tapi buat mereka, hubungan jarak jauh seperti itu banyak sisi positifnya. Setidaknya sampai hari ini mereka merasa keluarga kecilnya tetap seimbang dan utuh. Ada kegeregetan yang lebih terasa setelah berjarak seperti ini.

Ada yang bilang lagi kata seorang teman, memasuki usia 3,4,5 tahun pernikahan, akan timbul kebosanan dan grafik kepuasan pernikahan menurun, dan selalu berpikir ingin mencoba sesuatu yang baru. Berjarak seperti ini bisa memelihara cinta pasangan sehingga menyala selalu. Tidak terlalu jauh untuk didekap, tidak juga terlalu rapat sehingga mematikan ruang-ruang personal. 

Banyak pernikahan yang berujung perpisahan karena pasangan mematikan ruang personal. Ruang personal, menurut saya, harus tetap ada meskipun kita sudah menikah. Apa itu ruang personal? Ruang yang isinya hanya urusan suami atau istri sendiri, tanpa dominasi pasangan. Bukan ruang secara fisik, ya. Tapi ruang keleluasaan bagi suami dan istri sehingga tetap bisa menjadi dirinya sendiri, dengan mimpi dan hobinya masing-masing. Dan commuter marriage, IMO, bisa lebih memungkinkan itu untuk terjadi.

Saya berkata demikian karena membandingkan dengan kehidupan mereka dalam pernikahan sebelum masa commuter seperti sekarang. Ujian bagi seseorang yang mencintai (siapa dan apapun) adalah menghindari keterikatan dengan hal yang fana (dan bukan miliknya). Jika terus-menerus dekat, kadang terlena. Merasa memiliki, merasa berhak meminta, berhak menuntut. Padahal, suami, istri, anak, itu semua punya Allah.

Bukan berarti yang tinggal sama-sama nggak oke loh. Selama ruang personal tetap ada, pasangan mana pun bisa jadi hebat. Ujian setiap keluarga kan beda-beda kale ya.

Idealnya keluarga tinggal satu rumah, syukuri jika sumber penghasilannya dekat dari rumah. Tapi kalau harus berpisah, syukuri juga. Allah ingin hamba-Nya menjemput rezeki, kan? Pokoknya mah syukuri apa yang ada. Karena hidup adalah anugerah.

Mar 14, 2016

Capek-capek Kuliah Untuk Apa Kalau Ujung-ujungnya di Dapur?


Haruskah perempuan itu pintar kalau akhirnya harus ‘kembali’ ke rumah? Perlukah kuliah hanya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang istri? Pertanyaan di atas kerap ditanyakan khususnya untuk seorang wanita yang ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya namun pada akhirnya memutuskan untuk memilih profesi ibu rumah tangga. 


Pintar merupakan satu kondisi yang wajib, tidak peduli apakah dia seorang suami atau istri. Ilmu diperlukan dalam segala aspek kehidupan sekalipun jika pada akhirnya perempuan harus ‘kembali’ ke rumah. Justru saat seorang wanita memutuskan berumah tangga dia memerlukan pengetahuan dalam menjalani kehidupannya yang baru sebagai istri dan ibu yang akan menentukan kualitas generasi selanjutnya.


Perempuan itu harus tekun menuntut ilmu tidak peduli apakah nantinya akan menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga. 


Anak-anak mendapatkan pendidikan dasar pertama bukan dari TK atau SD namun dari ibu karena paling banyak berada di rumah. Bagaimana mungkin seorang ibu yang tidak pintar bisa melahirkan dan menciptakan generasi yang cerdas? Generasi yang smart, berkepribadian, dan beriman membutuhkan peran ibu yang pintar memberi arah dan tujuan bagi anaknya. Perempuan yang terdidik juga akan lebih mampu mengambil peran ketika anak dalam kesulitan, kurang motivasi, tertekan, atau sedih. Suatu tanggung jawab yang tidak sederhana namun sangat penting dalam mendidik anak.


Pembaca pasti pernah mendengar peribahasa “Di balik pria sukses pasti ada seorang wanita yang hebat”. Hal ini membuktikan pentingnya peran seorang wanita yang berkualitas untuk mendukung keberhasilan suaminya. Jadi, sekalipun ibu memilih menjadi seorang ibu rumah tangga, Anda tetap perlu untuk menuntut ilmu karena masa depan anak dan suami sangat dipengaruhi oleh kecerdasan ibu atau istri. 


Kepintaran itu pada dasarnya bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, bekal dalam berbisnis, membangun usaha sampingan, mengatur keuangan, bersosialisasi, membina rumah tangga, mendidik anak agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik, berkomunikasi, dan mengatur segala urusan lain di rumah. Istri yang berpendidikan tercermin dari pola pikirnya yang rasional. Selain itu pendidikan diharapkan bisa memberikan rasa percaya diri sehingga saat suami membutuhkan masukan, istri mampu memberikan saran-saran yang cemerlang. Pasangan pun terhindar dari kesalahan saat pengambilan keputusan. 


Suami bisa menjalankan tugasnya di luar rumah dengan tenang karena urusan rumah tangga sudah dipercayakan pada sang istri yang bisa diandalkan mengatasi persoalan di rumah. Bila anak bertanya mengenai pelajaran sekolah, ibu yang pendidikannya memadai akan mampu mengajarkan anak dengan baik dan benar.


Bukan hanya di rumah, lingkungan masyarakat juga pasti akan memperhitungkan pendapat seorang wanita yang berpendidikan untuk kemajuan warga. Jadi, tidak ada istilah sia-sia kuliah kalau ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga asalkan ilmu yang diperoleh bisa diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk mendidik dan mengajar anak menjadi pribadi yang berahklak dan bermoral baik. Nah, apa jadinya jika seorang wanita hanya pintar ngerumpi dan hanyut dalam cerita-cerita sinetron yang tidak ada habisnya? 


Bagaimana dengan ibu yang belum bisa menikmati dunia pendidikan? Jangan khawatir. Pendidikan tinggi sangat diperlukan namun tidak bisa 100% menjamin seorang wanita akan menjadi istri yang pintar mengatur rumah tangga dan mendidik anak. Menurut saya, pintar bukan hanya di bidang akademik saja namun yang tidak kalah penting adalah kecerdasan emosional dan intelektual perempuan. Pengetahuan seperti ini tidak selalu harus didapat dari sekolah atau kampus. 


Kita bisa mengembangkan diri dengan rajin belajar dan membaca buku, artikel, biografi tokoh sukses, dan lain sebagainya. Banyak perempuan yang bukan wanita karier dan tidak kuliah namun bisa mengantarkan anaknya ke perguran tinggi hingga menjadi orang yang sukses. Ibu tersebut membimbing anak-anak dengan baik dan memberikan gizi yang seimbang. Kejarlah ilmu dan aplikasikan dalam semua aspek kehidupan karena semakin dimanfaatkan akan semakin terasah pengetahuan itu. Terpenting adalah kemauan untuk terus belajar dan mengembangkan kualitas diri.

Aku Rindu