“Wanita
adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab atas apa yang ia
pimpin.” (Muttafaqun ‘alaih)
Tidak
diragukan lagi bahwa wanita memikul tanggung jawab besar di rumah suaminya.
Tanggung jawab ini jauh lebih besar dari sekedar memberikan pelayanan kepada
suami, memberi makan anak-anak dan mengurus rumah. Tanggung jawab ini lebih
berupa peran dirinya sebagai faktor kesuksesan suami dalam hidupnya, mencari
keridhaan Allah subhanahu wata’ala dan mendidik anak-anak dengan baik serta
mengontrol akhlak mereka. Ini menuntut seorang wanita untuk memahami jauhnya
tanggung jawab yang ia pikul dan membekali diri secukupnya serta mengenal
kewajiban apa yang mesti ia tunaikan terhadap anggota keluarga yang akan
ditanyakan Allah subhanahu wata’ala kepadanya.
Sayangnya,
banyak sekali wanita zaman sekarang yang tidak bisa bersikap dengan baik kepada
suaminya. Ia bukannya menolong menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya agar
selesai dengan cara yang terbaik, mereka malah menjadi penghalang di atas jalan
suami ke arah kesuksesan bekerja. Sebagian wanita keliru memahami bahwa mereka
menganggap kehidupan suami istri adalah salah satu pertarungan kedua belah
pihak yang masing-masing berusaha duduk di atas singgasana kehidupan tersebut,
bukannya memahami bahwa kehidupan suami istri adalah untuk saling melengkapi,
saling membantu dalam memikul tanggung jawab, menciptakan kasih dan sayang yang
bisa memenuhi rumah sekaligus menjadi pondasi pergaulan suami istri.
Sebagai
contoh saja, Anda akan jumpai sebagian wanita ingin bekerja di luar rumah
meskipun akibatnya ia akan sangat menelantarkan tugas-tugasnya sebagai ibu.
Walaupun ia harus mengesampingkan banyak sekali kewajiban ini dan tidak begitu
perlu kepada pekerjaan di luar rumah dari sisi kebutuhan materi. Tetapi, ia
terus saja memilih bekerja di luar rumah dengan membuang semua tanggung jawab
tadi. Dari sinilah awal mula ia meremehkan pendidikan anak-anaknya dan
mengawasi akhlak mereka. Kemudian ia baru akan terhenyak ketika anak-anaknya
menyimpang, atau sebagian mereka menyimpang, setelah semuanya berlalu dan ia
tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Sesungguhnya ketika ibu meninggalkan
anak-anaknya dan lalai dari mendidik mereka karena kesibukan, apa pun sebabnya,
bisa dikatakan ini adalah suatu kejahatan yang besar dalam diri seorang ibu.
Ketika seorang anak kecil menjumpai ibu yang tidak bertanggung jawab dan
melalaikan pendidikannya, pada hakikatnya ia adalah anak yatim dengan berbagai
cakupan maknanya.
Ibu adalah
yang paling dekat dengan anak, pendidikannya lebih berpengaruh kepada mereka,
terlebih dalam fase-fase pertama masa kanak-kanak. Dialah yang menanamkan dalam
diri mereka prinsip-prinsip, norma-norma dan akhlak yang utama. Atau
sebaliknya, membiarkan mereka menjadi mangsa kebodohan dan penyimpangan.
1. Ibu harus
menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam melaksanakan berbagai macam ibadah dan
akhlak mulia yang ia perintahkan kepada mereka, seperti sifat jujur, amanah,
menepati janji—walaupun terhadap anak kecil—, berani dan tidak takut mengatakan
kebenaran, dermawan, suka bersedekah, mengasihi fakir miskin, dan sifat-sifat
terpuji, karakter-karakter yang baik serta akhlak luhur lainnya. Seorang ibu
harus mengerti bahwa jika ia tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam
hal yang ia perintahkan, maka kata-katanya hanya akan menjadi debu yang
berhamburan (tidak ada gunanya). Anak-anak tidak akan percaya kepadanya
walaupun ia menggunakan berbagai dalil dan alasan.
2. Hendaknya
ia menunaikan hak suaminya. Jangan sampai ia bertengkar dengan suami di hadapan
anak-anak. Hendaknya ia sabar menghadapi suami yang bertipe keras. Hendaknya ia
menjaga kepentingan suami dan tidak berlebihan dalam menggunakan hartanya, ia
gunakan harta itu untuk hal yang makruf, dan menjadi pembantu suaminya dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Hendaknya ia bersikap
lembut ketika memenuhi permintaan suami, supaya ia tidak melampiaskan hasratnya
kepada yang haram.
3. Hendaknya
ia meninggalkan pekerjaan di luar rumah jika hanya akan menghalanginya
menunaikan tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak, jika ia memang tidak
perlu sekali terhadap pekerjaan tersebut. Demikian juga, janganlah banyak
berpikir memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap dengan mengesampingkan urusan
lain yang lebih penting, seperti mendidik anak dan memberikan pengawasan dan
perhatian yang baik kepada mereka.
4. Mendorong
anak-anak untuk melaksanakan shalat ketika tercapai usia tujuh tahun supaya
menjadi terbiasa dengannya. Dalam sebuah hadits yang mulia:
“Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat jika
telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka pada usia 10 tahun (jika tidak
mau shalat), dan pisahkan tempat tidur mereka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan
yang lain. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 5867.)
5. Tidak
terlalu ketat dalam mengontrol anak, sebab ini akan menimbulkan ketidakstabilan
dalam kehidupan mereka di masa mendatang. Hendaknya ia memperlakukan mereka
dengan lembut tetapi disiplin dan tidak galak terhadap mereka, karena tak
jarang ini akan membuahkan hasil berlawanan dengan yang diharapkan. Seorang ibu
harus membaca buku tentang psikologi anak dan bagaimana menyikapinya serta
berkonsultasi dengan ahli dan dokter dalam bidang tersebut.
6.
Mengingatkan anak untuk menghindari teman yang jahat, serta menjelaskan
kejelekan-kejelekan mereka seperti itu sehingga mereka menghindarinya. Sebab
kata orang Arab, teman adalah seorang penarik.
7.
Mengeluarkan barang-barang yang merusak akal dan akhlak dari dalam rumah dan
tidak mentolerir masuknya majalah-majalah porno yang menampilkan bagian-bagian
tubuh wanita yang mengundang fitnah serta membawa hal-hal yang diharamkan
Allah, seperti kerinduan yang haram, cinta, dan asmara.
Semoga
bermanfaat
Dari
berbagai sumber.