Celana pendek yang seharusnya dipakai para hostest (pelacur)
di jalanan Barat dan Amerika, kini dipakai juga oleh para wanita Indonesia..
Abad modern, sebuah jaman dimana manusia mengobrol dengan mewahnya dunia. Dan berikrar seakan tak menginginkan Tuhan
ikut campur dalam hidupnya. Budaya kebebasan yang tak mengerti batas
‘bebasnya’. Membuat banyak wanita diperhadapkan dengan kebingungan peradaban.
Antara etika dan non – etika. Antara bertahan atau pergi dari sebuah tradisi
kesopanan. Mengingat wanita adalah simbol visualisasi dunia, benarkah etika
kesopanan masih bertengger pada pribadinya? Ataukah dunia modern lebih
menguasai etika kesopanannya?
Ketika itu, masih sangat membekas di pikiran
seorang etika. Betapa indah kain batik yang menutupi selongsong tubuh wanita
Indonesia. Mewahnya gaun korset panjang ala noni – noni Belanda yang dipakai
saat berada di tanah jajahan. Apalagi dengan ketatnya etnosentrime yang
dipakaikan masyarakat kepada wanita – wanita pribumi dan Belanda. Tata cara
berpakaian sopan, dan tak boleh dilanggar – langgar. Membuat etika semakin
dihormati.
Entah kenapa akhir – akhir ini, etika mengalami kegelisahan. Banyak wanita
melanggar tata cara berpakaian. Memakai sebuah celana pendek (baca : sependek
paha, atau setengah paha) dan terkadang pakaian atasan hanya memakai kemben saja, atau pakaian tanpa lengan dan (maaf) terlihat bagaian dalam pakainnya tipis, yang bahkan tidak anggun sama sekali bagi seorang
wanita berkelas. Tertukarkah penghargaan diri seorang wanita dengan sebuah
celana pendek?
Lihat saja di jalanan tempat berkumpulnya kaum muda, lampu
merah, tempat perbelanjaan, atau di depan mesjid sekaligus, tak pandang
pedesaan atau perkotaan. Tante – tente, emak-emak, atau remaja, tampaknya, celana pendek
sudah menjadi ‘tren’ kebebasan. Mereka beranggapan, “tanpa itu, kami tak
kelihatan cantik, dan dilirik banyak mata lelaki. Kami benar – benar mencintai
hotpants (celana pendek) seperti mencintai diri sendiri. Memang pertama malu
memakainya, tapi lama – kelamaan begitu terlihat seksi”. Tak menutup realitas,
memang terlihat menarik saat dipakai di jalanan, apalagi sembari mengendarai
kendaraan bermotor. Mata lelaki mata yang tak akan ‘jelalatan’ melihatnya?
Bahkan pikiran pun bisa – bisa liar melihat pemandangan tersebut, jangan heran
jika nantinya angka kriminalitas (ex:pemerkosaan) semakin tinggi. Nilai –
nilai moral yang dulu tertata juga menjadi rancu jika budaya ini diteruskan.
Padahal kalau kita punya anak yang masih kecil, pasti kita mendidiknya dengan benar-benar perhatian, dan jangan sampai salah didik, karena apa yang kita sampaikan pasti akan terekam selamanya di pikiran anak-anak kita, misalkan kita ngasih contoh kepada anak kita yang masih belajar cara berpakaian dll. "Adik kalau mau sekolah pakainya seragam yang ini, kalau mau bobo' pakainya piyama yang begini", lah kalau mau jalan pasti dong kita ngasih pakaianya yang sopan kepada anak kita. Lah sekarang kalau kita mendidik ke anak-anak kita berpakaian sopan, kenapa emak-emaknya berpakaian ala pelacur? Nah jangan salahkan anak-anaknya dong jika nanti anak beranjak remaja meniru kelakuan emaknya berdandan seperti pelacur.
Memang, kalau dipikir manusia itu munafik,
dulu begitu mencaci maki, cara berpakaian para pelacur, tetapi sekarang
kadang berbeda 180 Derajat, para pelacur sekarang banyak yang pakai busana
tertutup loh, sedangkan sebagian wanita (Yang Katanya Bukan Pelacur) memakai
celana luar yang hampir seukuran (Maaf) celana dalam. ataukah memang realitanya
sekarang mulai banyak wanita yang bukan pelacur tetapi kelakuannya hampir sama
dengan pelacur, bedanya mereka tidak memungut bayaran ketika telah melakukan
perbuatan yang biasa dilakukan oleh PELACUR, Entahlah, meskipun tidak semua wanita
berkelakuan seperti itu.
Tetapi kalau saya melihat di media sosial atau facebook jaman sekarang, Ya Tuhan.., wanita sekarang malah memperlihatkan paha gratis, padahal paha ayam di pasar mahal loh, ada juga yang memperlihatkan belahan dada gratis, remaja yang masih belia, tante-tante genit, apa lagi emak-emak yang sudah punya anak ABG, dan remaja gak mau kalah dan gak mau ketinggalan, emak-emak narsis dengan gaya bibir di moncong-mocongin ke depan, lidah di julur-julurin, hedeh..., ampun dech tepuk jidad saya, gayanya persis seperti emak-emak pelacur yang jablay. Saya percaya tidak semua emak-emak berkelakuan liar seperti itu, karena saya yakin semua ada tempatnya.
Bagi saya pakaian yang sopan tidak harus pakai kebaya kok, tapi yang saya heran sekarang seakan celana pendek telah menjadi Tuhan bagi wanita.
Tidakkah itu pemujaan yang terlalu berlebihan? Celana pendek yang seharusnya
dipakai para purel, perek, psk, dan hostest (pelacur) di jalanan Barat dan Amerika, kini dipakai juga
oleh para wanita Indonesia, dimana letak etikanya? Ayolah, masih banyak pakaian
sopan dan mewah yang bisa dijadikan tren!
Seandainya masih hidup, Kartini
mungkin akan menangis sejadi – jadinya kale ya. Dia ingat bahwa dulu emansipasi yang
diperjuangkannya bukanlah seperti ini. “Aku berjuang untuk martabat kaum
perempuan, mengapa justru martabat ini tak dimiliki oleh banyak perempuan
sekarang?” Celana pendek, rasanya tak pantas menjadi budaya. Etika pun benar –
benar telah gelisah melihat peradaban tersebut (Bernard, “Etika Lintas Sosial
Budaya”).
Tiada melarang sebenarnya. Hanya, jika larangan itu dicabut, kemana
larinya sebuah etika? Maukah celana pendek bertanggung jawab jikalau peradaban
wanita Indonesia mengalami kehancuran etika? I dont think so