Tetangga yang memiliki mobil baru, rekan
seprofesi yang kariernya cepat menanjak, teman kuliah yang rata-rata
sukses, tak terasa menimbulkan benih-benih kedengkian dalam hati. Setan
lalu membisikkan khayalan dan angan-angan lebih jauh lagi. Padahal ada
begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Anak-anak yang cerdas dan penurut, rumah
tangga yang tenang dan tentram, pekerjaan yang halal, adalah anugerah
Allah yang patut disyukuri. Namun kita begitu sering melupakan nikmat
yang Allah berikan itu dan lebih suka membandingkannya dengan orang
lain, padahal mensyukuri nikmat akan menambah besarnya nikmat itu
sendiri. Mengapa tidak bersikap qona’ah saja dengan skenario Allah?
Sebab Allah-lah yang lebih mengerti akan kebutuhan kita.
Jika Allah tidak memberi harta berlimpah
kepada kita, itu bisa jadi karena kita yang belum siap. Allah tidak
ingin kita menjadi pribadi yang sombong dan takabbur. Allah tidak ingin
kita menjadi seperti Fir’aun dan Qorun yang mengkufuri nikmat. Jika
Allah belum memberi kita kedudukan yang baik dalam karier, itu mungkin
karena Allah masih menganggap kita belum mampu memegang amanah, yang
justru malah akan menjatuhkan kita.
Jadi, mengapa harus muncul benih-benih
kedengkian? Toh semuanya sudah diatur oleh Allah dengan seadil-adilnya
dan seproporsional mungkin. Kita tinggal berusaha dan menjalaninya
dengan lapang dada, tak perlu muncul keluh kesah apalagi murka.
Kedengkian hanya akan membuat hati kita selalu gelisah dan akan
menghilangkan kebaikan seperti api yang melalap kayu bakar. Hati kita
akan terus menerus merasa tidak puas, terombang-ambing oleh perasaan
ketidak-adilan semu. Akhirnya depresi yang terjadi, dan kita sendirilah
yang rugi.
Mari renungkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam berikut ini:..
“Orang yang kaya bukanlah dengan harta benda akan tetapi orang yang kaya adalah kaya jiwa” (HR Syaikhani dari Abu Hurairah).
Maka kekayaan yang hakiki adalah kaya
jiwa, dalam arti tidak tamak apa yang ada pada orang lain, tamak
terhadap harta, jabatan, kemasyhuran atau wanita yang dimiliki oleh
orang lain.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua
matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari
mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.
Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131)
Jiwa yang kaya merasa yakin bahwa rezekinya akan datang seperti janji Allah..
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya…” (al-Hud: 23)
Sehingga hatinya merasa tenang dan tentram, tidak bermusuhan dengan orang lain hanya karena masalah dunia.
Seperti jawaban Hatim al-Asham yang suatu hari ditanya, “Atas dasar apa engkau bertawakkal dalam masalah ini?”
Beliau menjawab, “Atas empat hal: aku
tahu bahwa rizkiku tidak akan dimakan oleh seseorang, karena itu hatiku
tenang, aku tahu bahwa amalku tidak akan pernah dilakukan oleh
seseorang, karena itu aku sibuk dengannya, aku tahu bahwa kematian akan
datang dengan tiba-tiba, karena itu aku mempersiapkannya, dan aku tahu
bahwa aku selalu ada dalam pengawasan Allah, karena itu aku malu
kepada-Nya.”
Atau seperti jawaban ‘Ali bin Abi Thalib ketika dimintai pendapat, “Wahai Abul Hasan, terangkanlah sifat dunia kepada kami!”
Lalu beliau berkata, “Dengan ungkapan yang panjang atau pendek?” Mereka berkata, “Dengan ungkapan yang pendek saja.” Beliau berkata, “Yang halal dari dunia pasti akan diperhitungkan sedangkan yang haram darinya adalah bekal yang menjerumuskan ke Neraka.”
Begitulah prinsip kehidupan yang mereka
jalani, yang bisa menjadi pelepas dahaga bagi jiwa-jiwa yang kering dan
tamak. Prinsip hidup yang datang dari hati yang selalu merasa cukup
dengan apa yang Allah berikan. Prinsip yang semoga mampu menggedor pintu
kesadaran jiwa kita yang kini hanyut pada ambisi-ambisi dunia, jiwa
yang selalu menuruti keinginan hawa nafsu. Mampukah kita menerapkannya?
Tetangga yang memiliki mobil baru, rekan seprofesi yang kariernya cepat menanjak, teman kuliah yang rata-rata sukses, tak terasa menimbulkan benih-benih kedengkian dalam hati. Setan lalu membisikkan khayalan dan angan-angan lebih jauh lagi. Padahal ada begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Anak-anak yang cerdas dan penurut, rumah tangga yang tenang dan tentram, pekerjaan yang halal, adalah anugerah Allah yang patut disyukuri. Namun kita begitu sering melupakan nikmat yang Allah berikan itu dan lebih suka membandingkannya dengan orang lain, padahal mensyukuri nikmat akan menambah besarnya nikmat itu sendiri. Mengapa tidak bersikap qona’ah saja dengan skenario Allah? Sebab Allah-lah yang lebih mengerti akan kebutuhan kita.
Jika Allah tidak memberi harta berlimpah kepada kita, itu bisa jadi karena kita yang belum siap. Allah tidak ingin kita menjadi pribadi yang sombong dan takabbur. Allah tidak ingin kita menjadi seperti Fir’aun dan Qorun yang mengkufuri nikmat. Jika Allah belum memberi kita kedudukan yang baik dalam karier, itu mungkin karena Allah masih menganggap kita belum mampu memegang amanah, yang justru malah akan menjatuhkan kita.
Jadi, mengapa harus muncul benih-benih kedengkian? Toh semuanya sudah diatur oleh Allah dengan seadil-adilnya dan seproporsional mungkin. Kita tinggal berusaha dan menjalaninya dengan lapang dada, tak perlu muncul keluh kesah apalagi murka. Kedengkian hanya akan membuat hati kita selalu gelisah dan akan menghilangkan kebaikan seperti api yang melalap kayu bakar. Hati kita akan terus menerus merasa tidak puas, terombang-ambing oleh perasaan ketidak-adilan semu. Akhirnya depresi yang terjadi, dan kita sendirilah yang rugi.
Mari renungkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam berikut ini: “Orang yang kaya bukanlah dengan harta benda akan tetapi orang yang kaya adalah kaya jiwa” (HR Syaikhani dari Abu Hurairah). Maka kekayaan yang hakiki adalah kaya jiwa, dalam arti tidak tamak apa yang ada pada orang lain, tamak terhadap harta, jabatan, kemasyhuran atau wanita yang dimiliki oleh orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131)
Jiwa yang kaya merasa yakin bahwa rezekinya akan datang seperti janji Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya…” (al-Hud: 23) sehingga hatinya merasa tenang dan tentram, tidak bermusuhan dengan orang lain hanya karena masalah dunia.
Seperti jawaban Hatim al-Asham yang suatu hari ditanya, “Atas dasar apa engkau bertawakkal dalam masalah ini?” Beliau menjawab, “Atas empat hal: aku tahu bahwa rizkiku tidak akan dimakan oleh seseorang, karena itu hatiku tenang, aku tahu bahwa amalku tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang, karena itu aku sibuk dengannya, aku tahu bahwa kematian akan datang dengan tiba-tiba, karena itu aku mempersiapkannya, dan aku tahu bahwa aku selalu ada dalam pengawasan Allah, karena itu aku malu kepada-Nya.”
Atau seperti jawaban ‘Ali bin Abi Thalib ketika dimintai pendapat, “Wahai Abul Hasan, terangkanlah sifat dunia kepada kami!” Lalu beliau berkata, “Dengan ungkapan yang panjang atau pendek?” Mereka berkata, “Dengan ungkapan yang pendek saja.” Beliau berkata, “Yang halal dari dunia pasti akan diperhitungkan sedangkan yang haram darinya adalah bekal yang menjerumuskan ke Neraka.”
Begitulah prinsip kehidupan yang mereka jalani, yang bisa menjadi pelepas dahaga bagi jiwa-jiwa yang kering dan tamak. Prinsip hidup yang datang dari hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Prinsip yang semoga mampu menggedor pintu kesadaran jiwa kita yang kini hanyut pada ambisi-ambisi dunia, jiwa yang selalu menuruti keinginan hawa nafsu. Mampukah kita menerapkannya?
- See more at: http://jilbab.or.id/archives/255-jiwa-yang-selalu-merasa-kaya/#sthash.eMwyXrAk.dpuf
Tetangga yang memiliki mobil baru, rekan seprofesi yang kariernya cepat menanjak, teman kuliah yang rata-rata sukses, tak terasa menimbulkan benih-benih kedengkian dalam hati. Setan lalu membisikkan khayalan dan angan-angan lebih jauh lagi. Padahal ada begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Anak-anak yang cerdas dan penurut, rumah tangga yang tenang dan tentram, pekerjaan yang halal, adalah anugerah Allah yang patut disyukuri. Namun kita begitu sering melupakan nikmat yang Allah berikan itu dan lebih suka membandingkannya dengan orang lain, padahal mensyukuri nikmat akan menambah besarnya nikmat itu sendiri. Mengapa tidak bersikap qona’ah saja dengan skenario Allah? Sebab Allah-lah yang lebih mengerti akan kebutuhan kita.
Jika Allah tidak memberi harta berlimpah kepada kita, itu bisa jadi karena kita yang belum siap. Allah tidak ingin kita menjadi pribadi yang sombong dan takabbur. Allah tidak ingin kita menjadi seperti Fir’aun dan Qorun yang mengkufuri nikmat. Jika Allah belum memberi kita kedudukan yang baik dalam karier, itu mungkin karena Allah masih menganggap kita belum mampu memegang amanah, yang justru malah akan menjatuhkan kita.
Jadi, mengapa harus muncul benih-benih kedengkian? Toh semuanya sudah diatur oleh Allah dengan seadil-adilnya dan seproporsional mungkin. Kita tinggal berusaha dan menjalaninya dengan lapang dada, tak perlu muncul keluh kesah apalagi murka. Kedengkian hanya akan membuat hati kita selalu gelisah dan akan menghilangkan kebaikan seperti api yang melalap kayu bakar. Hati kita akan terus menerus merasa tidak puas, terombang-ambing oleh perasaan ketidak-adilan semu. Akhirnya depresi yang terjadi, dan kita sendirilah yang rugi.
Mari renungkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salam berikut ini: “Orang yang kaya bukanlah dengan harta benda akan tetapi orang yang kaya adalah kaya jiwa” (HR Syaikhani dari Abu Hurairah). Maka kekayaan yang hakiki adalah kaya jiwa, dalam arti tidak tamak apa yang ada pada orang lain, tamak terhadap harta, jabatan, kemasyhuran atau wanita yang dimiliki oleh orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 131)
Jiwa yang kaya merasa yakin bahwa rezekinya akan datang seperti janji Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya…” (al-Hud: 23) sehingga hatinya merasa tenang dan tentram, tidak bermusuhan dengan orang lain hanya karena masalah dunia.
Seperti jawaban Hatim al-Asham yang suatu hari ditanya, “Atas dasar apa engkau bertawakkal dalam masalah ini?” Beliau menjawab, “Atas empat hal: aku tahu bahwa rizkiku tidak akan dimakan oleh seseorang, karena itu hatiku tenang, aku tahu bahwa amalku tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang, karena itu aku sibuk dengannya, aku tahu bahwa kematian akan datang dengan tiba-tiba, karena itu aku mempersiapkannya, dan aku tahu bahwa aku selalu ada dalam pengawasan Allah, karena itu aku malu kepada-Nya.”
Atau seperti jawaban ‘Ali bin Abi Thalib ketika dimintai pendapat, “Wahai Abul Hasan, terangkanlah sifat dunia kepada kami!” Lalu beliau berkata, “Dengan ungkapan yang panjang atau pendek?” Mereka berkata, “Dengan ungkapan yang pendek saja.” Beliau berkata, “Yang halal dari dunia pasti akan diperhitungkan sedangkan yang haram darinya adalah bekal yang menjerumuskan ke Neraka.”
Begitulah prinsip kehidupan yang mereka jalani, yang bisa menjadi pelepas dahaga bagi jiwa-jiwa yang kering dan tamak. Prinsip hidup yang datang dari hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Prinsip yang semoga mampu menggedor pintu kesadaran jiwa kita yang kini hanyut pada ambisi-ambisi dunia, jiwa yang selalu menuruti keinginan hawa nafsu. Mampukah kita menerapkannya?
- See more at: http://jilbab.or.id/archives/255-jiwa-yang-selalu-merasa-kaya/#sthash.eMwyXrAk.dpuf