Nov 14, 2015

Bumbu Cinta Adalah Rasa Cemburu



Rumah tangga yang harmonis pasti di dalamnya dipenuhi rasa cinta. Dan salah satu bumbu cinta adalah rasa cemburu. Jadi tidak perlu membuang rasa cemburu karena justru itu menambah kadar cinta. Bahkan seorang guru kehidupan pernah berkata kepada murid lelakinya, “Kamu bukanlah laki-laki apabila tidak pernah cemburu dengan istrimu.”


Banyak hal yang bisa menimbulkan rasa cemburu bagi suami. Namun yang paling menonjol dan perlu dihindari wanita ada tiga. 

Pertama, sang istri berjanji bertemu dengan laki-laki dewasa lain tanpa izin atau memberitahu suami. Seorang istri yang ingin menjaga perasaan suami perlu membiasakan diri untuk meminta izin suami bila hendak bertemu dengan laki-laki dewasa lain. Meskipun pertemuannya di rumah sendiri, apalagi pertemuan yang jauh dari rumah.


Kedua, sang istri menceritakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki lelaki lain. Setiap orang pasti punya kelebihan dan gaya sendiri dalam berkarir, berbisnis dan menjalani kehidupan. Jangan banding-bandingkan suami Anda dengan lelaki lain. Fokuslah mensupport kelebihan dan kekuatan suami tanpa perlu membandingkannya dengan lelaki lain. Jaga perasaan suami agar mereka tidak merasa kecil atau lemah di mata istri sementara lelaki lain terlihat lebih hebat.


Ketiga, sang istri sibuk melayani atau bercengkerama dengan orang lain dan mengabaikan suami dan anaknya. Hal seperti ini biasanya terjadi saat pertemuan acara mengundang banyak orang, acara pernikahan, reuni atau moment pertemuan besar lainnya. Sang istri terlalu asyik bercengkerama dengan tamu atau undangan yang lain dan melupakan suami dan anaknya.


Cemburu memang boleh tetapi tidak boleh berlebihan apalagi hanya berdasarkan analisa dan bukan fakta. Dikisahkan, seorang istri ditinggal tugas ke luar kota oleh suaminya. Sang suami sudah beberapa hari tidak meneleponnya. Langsung terbersit di pikirannya bahwa suaminya sibuk dengan wanita lain dan sudah tidak mencintainya lagi.


Maka, dia meminta anaknya untuk menelepon ayahnya. Dan tidak berapa lama kemudian sang anak melapor, “Mama, ayah gak mau angkat telepon. Yang mengangkat malah perempuan dengan suara merdu.” Langsung sang istri berkata, “Benar khan dugaan mama, ayahmu memang punya selingkuhan. Ayahmu memang sudah gak perhatian lagi sama mama.”


Dengan emosi yang tinggi, sang istri bertanya kepada anaknya, “Nak, apa yang dikatakan wanita itu?” Anaknya menjawab, “Wanita itu berkata begini mama, "maaf, sisa pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan percakapan ini.”


Nov 13, 2015

Pasangan Serasi Adalah Dua Orang Karakter Beda

Laki laki baik untuk wanita yang baik, demikian sebaliknya. 

Begitu kira - kira kata pepatah, tapi ternyata 'baik' itu relatif. Kalau untuk saya lebih menyukai 'laki laki baik HARUS melengkapi wanita kurang baik' atau sebaliknya. 

Coba deh bayangin, ada seorang cowok yang alim, baik hati, pengertian, setia pengayom istri, pokoknya suami sholeh yang setia pada 1 istri, lalu menikahi seorang wanita yang sifat dan kebaikannya sama sepertinya, atau dengan kata lain istri sholeha. 

Hmmm... Tak terbayangkan betapa garing hidupnya (kacang garing mah lewat), tak ada tantangan, semua telah diatur dengan baik, lalu bagaimana caranya kita dapat mengatakan dia suami atau istri yang sholeh/sholeha jika tolok ukurnya tak ada? Memang sih tolok ukurnya hanya dari sang pencipta kita, karna Dialah yang memutuskan nantinya di alam sana. 

Kalau menurut saya, pasangan yang serasi itu adalah dua orang dengan karakter berbeda, sehingga tiap pasangan dapat saling mengisi kekurangan masing – masing, karena manusia tak ada yang sempurna. 

Yah, seperti saya dan mas paijo, selalu berbeda dalam hal apapun, dan tidak pernah sependapat, ribut, dan bertengkar kecil hal biasa dalam diskusi setiap hari. Saya dan mas paijo seperti mata uang logam, sekalipun kita beda dalam hal apapun, tetapi kita tetap bisa selalu bersama-sama, dan bergandeng tangan semakin erat. Dengan pendapat kita yang selalu beda, pada akirnya kita pasti bisa bersependapat dan menjadi satu, itulah keindahan beda pendapat saya dan mas paijo, semuanya terasa indah sekalipun ada ribut-ribut kecil, karena saya dan mas paijo bisa saling, mengerti, menghargai dan saling mengalah.

Allah itu maha adil, selalu menjodohkan setiap orang dengan karakter berbeda, seperti saya yang keras dan mas paijo yang luar biasa sabar, saya yang tidak sabaran dengan mas paijo yang sabar menimpali sikap saya, bukan berarti saya tidak pernah mengalah loh, hehe..., yah ada kalanya dimana masalah membuat saya juga harus mengalah, sebaliknya begitu dengan mas paijo, intinya kita sama-sama tau dan mengerti. Yah semoga semuanya bisa berjalan dengan baik dan bisa saling melengkapi kekurangan yang ada, amin.


Laki laki baik untuk wanita yang baik, demikian sebaliknya. Begitu kira - kira kata pepatah, tapi ternyata 'baik' itu relatif. Kalau untuk saya lebih menyukai 'laki laki baik HARUS melengkapi wanita kurang baik' atau sebaliknya. Coba deh bayangin, ada seorang cowok yang alim, baik hati, pengertian, setia pengayom istri, pokoknya suami sholeh yang setia pada 1 istri, lalu menikahi seorang wanita yang sifat dan kebaikannya sama sepertinya, atau dengan kata lain istri sholeha. Hmmm... Tak terbayangkan betapa garing hidupnya (kacang garing mah lewat :D), tak ada tantangan, semua telah diatur dengan baik, lalu bagaimana caranya kita dapat mengatakan dia suami atau istri yang sholeh/sholeha jika tolok ukurnya tak ada? Memang sih tolok ukurnya hanya dari sang pencipta kita, karna Dialah yang memutuskan nantinya di alam sana. Kalau menurut saya, pasangan yang serasi itu adalah dua orang dengan karakter berbeda, sehingga tiap pasangan dapat saling mengisi kekurangan masing – masing, karena manusia tak ada yang sempurna. Allah itu maha adil, selalu menjodohkan tiap orang dengan karakter berbeda, seperti ayah saya yang keras dan temperamental dengan ibu saya yang luar biasa sabar, saya yang tidak sabaran dengan suami saya yang sabar menimpali sikap saya, yah semoga semuanya bisa berjalan dengan baik dan bisa saling melengkapi kekurangan yang ada, amin.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/reyneraea/pasangan-serasi-untuk-kita_551abea6a333114c21b65a3e

Jatuh Cinta Pada Pria yang Sudah Menikah



Jatuh cinta merupakan hak setiap manusia. Tapi apakah jatuh cinta kepada pria yang sudah menikah merupakan hal yang tepat? Fenomena seperti ini rasanya bukan hal yang asing lagi untuk kita temui. Faktanya, masih ada saja tuh wanita yang bermain affair dengan pria beristri.

Main serong dengan pria beristri hanya bisa membuat nama kamu tercoreng. Di satu sisi mungkin kamu merasa bahagia ada orang yang mencintaimu tapi di sisi lain, kebahagiaan yang kamu rasakan hanyalah kebahagian semu. Hal ini menggambarkan kamu sedang membangun cerita kelam untuk kehidupan percintaanmu. Tentu saja jika di biarkan terus menerus hal ini dapat membuatmu terpuruk.

Kenapa Wanita Bisa Jatuh Cinta kepada Pria Beristri?

Kamu mungkin sudah tahu bahwa dia telah menikah dan bahkan telah memiliki anak, namun sikap manis dan rasa perhatian darinya yang terus membanjiri kamu tak dapat kamu tolak. Bukan hanya itu, kamu pun mulai merasa bahwa si dia merupakan pria yang dapat mengerti kamu di banding yang lainnya.

Karena wanita cenderung menggunakan perasaan pada apa yang di hadapinya, maka jangan heran jika banyak wanita jatuh cinta ketika pria mencurahkan segala perhatian, kebaikan dan rasa sayangnya tanpa mencari tahu penyebab kenapa pria itu melakukan hal tersebut.

Mungkin saja pria itu tengah dirundung masalah dengan istrinya di rumah atau ia tak lagi mendapatkan kasih sayang dari sang istri. Dan ketika dia mencoba membangun komunikasi dengan kamu, sikap kamu pun seakan terbuka dan tidak menolaknya sehingga peluang cinta terlarang ini kemungkinan besar dapat terjadi.

Siapa yang Salah?

Lalu jika hal ini sudah terlanjur terjadi, siapakah yang salah? Apakah wanita dianggap sebagai pihak yang patut di salahkan karena telah merusak rumah tangga orang lain dan dicap sebagi penggoda suami orang? Atau sang suami yang sengaja membiarkan diri melanggar janji setia? Jawabannya adalah keduanya. Kebahagiaan dengan perselingkuhan tidak pernah bisa berjalan seirama. Kamu mungkin merasa bahagia ketika bersamanya, tapi itu hanya sementara.

Formula yang harus digunakan agar hal ini tidak terjadi lagi adalah menahan diri dan tidak berusaha membangun komunikasi dengan pria yang sudah beristri untuk urusan hati. Ingatlah, masih ada banyak pria lajang yang menanti kamu di sana.

Nov 12, 2015

Perempuan Harus Mandiri


Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. 

Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. 

Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. 

Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. 

Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. 

Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. 

"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". 

Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya, "Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya, "Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya, "Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417

Setiap Istri Ingin Suaminya Jujur Dan Terbuka

Jika suami bisa cerita apapun tanpa beban, kita pasti merasa semakin lengkap sebagai istri. Karena memang demikianlah seharusnya suami dan istri; sepasang karib yang bisa bercakap-cakap tentang apapun tanpa batas. Bagaimana dengan Anda dan suami?

Siapa yang tidak mau mempunyai suami jujur. Pasti setiap istri ingin sekali jika suaminya bisa jujur dan terbuka tentang apapun yang dialaminya. Baik itu peristiwa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Rasanya jika suami bisa cerita tanpa beban, kita sebagai istri merasa lebih plong. Karena posisi kita dan suami seperti sahabat karib yang bisa bercakap-cakap dengan leluasa. Saat kita mencari pasangan, pastilah kita mencari orang yang mau berbagi suka dan duka seperti sahabat karib. Benar'kan?

Sehingga ada pepatah yang mengatakan, lebih baik mana jika sahabat jujur demi kebaikan kita kemudian hari dan selamanya, atau sahabat berbohong demi kebaikan kita juga, tetapi kita kecewa karena ia berbohong.

Sama halnya dalam hubungan suami istri. Ada harapan agar suami bisa memberikan jawaban atau komentar yang jujur apa adanya. Dengan konsekuensi istri siap menerima jawaban yang diberikan suami. Tidak ada kesal, tidak ada sakit hati. Tetapi di sisi lain ada pula istri yang berharap dalam hati; "yah maunya suami bisa jujur tapi lihat dan perhatikan juga suasana hati saya saat itu."

Beberapa contoh nyata terjadi pada beberapa kerabat saya, misalnya saja saat sedang menonton televisi. Terjadi percakapan antara suami dan istri. 

"Yah, Dian Sastro cantik gak? Cantik mana sama bunda?" "Hmmm... cantik bunda" 
"Aarrgghh ayah bohong, mana mungkin cantikkan bunda"  
"Ya sudah, cantikan Dian Sastro"  
"Ayah tega, masa istri sendiri gak dibilang cantik"

Atau pertanyaan yang biasanya ditanyakan istri saat masih pengantin baru.  

"Kenapa papa mau nikahin mama?"  
"Karena mama berwajah ibu rumah tangga, sudah terlihat aura keibuan bisa ngurus anak dan suami"  
"Berwajah ibu rumah tangga?"  
"Iya mama, ada yang salah dengan ibu rumah tangga? Ibu rumah tangga itu bisa mengerjakan semua pekerjaan. 
Mulai dari guru, koki, ahli keuangan, dan lain-lain".

"Oh, ok baiklah."

Ada pula yang begini "Yang, aku gemukan yah?" "Iya, sayang gemukan. Tapi tetap seksi kok"

Nah, kalau sudah begini. Suami sudah berkata jujur. Tetapi karena waktu dan pemilihan kalimat yang rasanya kurang pas, bagi kita. Akhirnya yang ada kita menjadi uring-uringan sepanjang hari. Kemudian terjadilah pertengkaran kecil antara kita dan suami. Lalu bagaimana?

"Aku sama istri termasuk tipikal yang blak-blakan. Kalau istri tanya dia gemuk apa kurus, ya aku jawab apa adanya. Kalau dia mulai kelihatan kurus, aku pasti komen gak suka. Karena aku lebih suka liat istriku gemuk" (Alfan, Wirausaha)

Menurut Alfan, hubungan suami istri lebih baik mengatakan terus terang dalam hal apapun. Dan melihat tipikal karakter masing-masing juga. Jika memang kondisinya seperti Alfan dan istri, yang terbiasa bicara blak-blakan. Hal sekecil apapun, akan diberi komentar apa adanya. Jadi tidak ada masalah dan tidak ada yang tersinggung satu sama lain.

Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa komentar jujur para suami, kalau bisa dipilah-pilah. Dalam artian lihat waktu dan suasana hati istri. Supaya tidak salah persepsi, apakah suami sedang bercanda atau berkata serius.

"White lies, lihat situasi kondisi dan mood mungkin yah. Kadang istri juga tahu kok kalau suami lagi bohong demi menyenangkan hati istri. Itu 'kan berarti suami berusaha menghargai dan mempertimbangkan perasaan kita istrinya. Meskipun dalam hakikatnya, berbohong tetap saja gak baik. Tetapi selama semuanya bisa dikomunikasikan dengan baik dan saling percaya. Kayaknya gak ada masalah kalau cuma buat lucu-lucuan" (Ferra, Ibu rumah tangga)

Dari dua kisah ini, berarti suami memang selayaknya harus selalu berkata jujur pada istri. Begitu pula istri kepada suami. Dalam hal apapun, baik itu komentar-komentar ringan saat obrolan sore sambil menikmati teh bersama. Atau saat pembicaraan yang serius. Yang jelas antara suami dan istri wajib hukumnya untuk menyelami karakter masing-masing. Sehingga tidak ada lagi rasa khawatir, sungkan, tidak enak dan perasaan tersinggung satu sama lain.

Aku Rindu