Nov 12, 2015

Perempuan Harus Mandiri


Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. 

Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. 

Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. 

Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. 

Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. 

Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. 

"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". 

Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya, "Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya, "Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Pertemuanku dengan perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah" ketika berhadapan dengan orang lain. Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami. Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan. Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain. Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup. Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu memasarkannya lewat Internet. Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya, "Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)". Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417

Aku Rindu