Pertemuanku dengan
perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin bersyukur
karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus bekerja. Bekerja
menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial. Kemandirian ini
menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah"
ketika berhadapan dengan orang lain.
Tanpa mengecilkan peran suami sebagai
kepala keluarga sekaligus pencari nafkah, perasaan "aku bisa" dan
" aku tidak lemah" inilah yang tampaknya jadi salah satu penentu
keberhasilan perempuan untuk survive ketika hal-hal buruk terjadi. Perceraian
misalnya, atau kematian suami.
Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan.
Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja, kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah penghasilan.
Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan
lain. Rutinitas kerja memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan
menjalani hari. Ada kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di
rumah, baik dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain.
Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat satu
prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup.
Tentu saja, semua perempuan punya
pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja
setelah menikah. Masing-masing pilihan memiliki pertimbangannya sendiri.
Bekerja pun tidak harus di sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di
jalan) bisa bikin pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar
membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu
memasarkannya lewat Internet.
Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang
akan terjadi besok, lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus
siap menghadapi perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi,
perempuan harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya.
"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)".
"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada laki-laki (suami mereka)".
Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk
keluarganya.
Pertemuanku dengan
perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin
bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus
bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial.
Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah"
ketika berhadapan dengan orang lain.
Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari
nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya
jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika
hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami.
Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi
kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi
anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar
dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja,
kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah
penghasilan.
Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja
memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada
kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik
dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain.
Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat
satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup.
Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga
sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing
pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di
sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin
pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu
antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu
memasarkannya lewat Internet.
Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok,
lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi
perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan
harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu
sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya,
"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang
bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada
laki-laki (suami mereka)".
Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Pertemuanku dengan
perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin
bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus
bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial.
Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah"
ketika berhadapan dengan orang lain.
Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari
nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya
jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika
hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami.
Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi
kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi
anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar
dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja,
kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah
penghasilan.
Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja
memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada
kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik
dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain.
Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat
satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup.
Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga
sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing
pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di
sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin
pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu
antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu
memasarkannya lewat Internet.
Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok,
lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi
perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan
harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu
sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya,
"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang
bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada
laki-laki (suami mereka)".
Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Pertemuanku dengan
perempuan-perempuan dengan berbagai pengalaman hidup membuatku makin
bersyukur karena sejak awal Ibuku menekankan bahwa perempuan harus
bekerja. Bekerja menciptakan kemandirian, paling tidak secara finansial.
Kemandirian ini menimbulkan perasaan "aku bisa" dan "aku tidak lemah"
ketika berhadapan dengan orang lain.
Tanpa mengecilkan peran suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari
nafkah, perasaan "aku bisa" dan " aku tidak lemah" inilah yang tampaknya
jadi salah satu penentu keberhasilan perempuan untuk survive ketika
hal-hal buruk terjadi. Perceraian misalnya, atau kematian suami.
Perempuan-perempuan yang terbiasa bekerja lebih percaya diri menghadapi
kehidupan yang "baru". Paling tidak, kekhawatiran tidak bisa menghidupi
anak-anak bisa diminimalisir. Walaupun pendapatan tentu tidak sebesar
dulu, yang penting tetap ada pemasukan. Pun karena terbiasa bekerja,
kreativitasnya lebih terasah. Banyak ide yang muncul untuk menambah
penghasilan.
Mandiri lewat bekerja juga punya satu kelebihan lain. Rutinitas kerja
memberi energi ekstra untuk tetap bangun pagi dan menjalani hari. Ada
kesempatan untuk mengalihkan pikiran dari permasalahan di rumah, baik
dengan memikirkan pekerjaan maupun berinteraksi dengan orang lain.
Apabila berhasil menyelesaikan pekerjaan, ada rasa puas karena mencatat
satu prestasi di tengah berbagai keruwetan hidup.
Tentu saja, semua perempuan punya pilihan untuk jadi ibu rumah tangga
sepenuhnya atau mandiri dengan bekerja setelah menikah. Masing-masing
pilihan memiliki pertimbangannya sendiri. Bekerja pun tidak harus di
sektor formal yang jam kerjanya (dan waktu tempuh di jalan) bisa bikin
pusing kepala. Kemajuan membuat banyak perempuan pintar membagi waktu
antara pekerjaan dan keluarga, misalnya membuka usaha di rumah lalu
memasarkannya lewat Internet.
Tidak ada manusia yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi besok,
lusa, atau beberapa menit ke depan. Perempuan pun harus siap menghadapi
perubahan, baik maupun buruk. Kalaupun hal buruk terjadi, perempuan
harus bisa tetap hidup dengan baik seperti sebelumnya. Mungkin itu
sebabnya seorang sahabatku menulis dalam akun sosial media miliknya,
"Semoga mereka (anak-anak kami) menjadi perempuan-perempuan mandiri yang
bisa berdiri sendiri yang tidak 100% menggantungkan hidup pada
laki-laki (suami mereka)".
Perempuan harus mandiri. Untuk dirinya sendiri, juga untuk keluarganya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/arek-tembalangan/perempuan-mandiri-harga-mati_552ae577f17e610350d62417