Apr 27, 2018

Ketika Hati Sulit Bersyukur

Kalau hati sedang sulit bersyukur, mungkin kita perlu mengingat kali pertama untuk segalanya.

Ketika lelah menuntut ilmu, ingatlah kali pertama ketika kita gembira menggunakan seragam sebagai murid baru dan keluar dari rumah untuk mengetahui seperti apa rasanya bersekolah, dulu. Bertemu teman sebangku, membuka halaman sampul buku, mencium tangan ibu-bapak guru, berdiri untuk berupacara dan maju ke depan kelas untuk bercerita tentang liburan di kampung halaman.

Ketika lelah bergaul, ingatlah kali pertama ketika kita gembira mendapatkan sahabat pertama dalam lingkungan sekitar, dulu. Mungkin kita masih hafal nama lengkap, nama panggilan, bentuk rambut, bau badan, nada bicara hingga kebiasaan makannya dengan merinci. Ia pernah kita daulat sebagai tandem yang jagoan lagi tangguh untuk menamatkan siang-siang terik dengan berjuta kesenangan.

Ketika lelah bekerja, ingatlah kali pertama ketika kita gembira mengamati lekak-lekuk tempat kita mengawali karier dengan setiap kekhasannya, dulu. Kita bersolek rapi untuk menentukan seperti apa semestinya tahun pertama kerja ditamatkan bersama karpet yang tebal, kursi yang empuk, pengharum ruangan beraroma segar, papan ketik yang mengkilat berseri beserta rekan-rekan seperjuangan yang seru untuk diajak merumpi di jam makan siang.

Ketika lelah menghadapi pasangan hidup, ingatlah kali pertama ketika kita gembira meluruhkan ketegangan yang hebat dalam prosesi akad nikah dulu. Ada sepasang orang tua yang puluhan tahun telah menumbuhkembangkan gadis kesayangannya untuk secara rida direlakan kepada laki-laki dari antah berantah yang tiba-tiba mengajakserta ibu-bapaknya ke rumah untuk mengkhitbah. Ada keharuan beserta rasa bahagia yang pecah merekah.

Ketika lelah membesarkan anak, ingatlah kali pertama ketika kita gembira melihat sesosok makhluk tak berdaya meluncur keluar dari rahim istri di momen persalinan, dulu. Ada luapan emosi yang sulit digambarkan. Ada ketakjuban, kegelisahan yang terbayar lunas ketika menyaksikan makhluk yang tadinya hidup di balik perut angkat suara untuk pertama kalinya lewat sepecah-pecahnya tangisan.

Ketika lelah menghadapi dunia, ingatlah kali pertama ketika kita mulai berkesadaran dan melihat semesta yang begitu luas ini sebagai arena bermain yang tak mengenal sekat juga batas. Setiap hal baru terus hadir di hadapan mata dan tercatat di kolom “penemuan”dalam bank memori kita. Hamparan sawah yang membentang, suara cicak di plafon rumah, aroma masakan tetangga hingga kembang gula yang terasa bagai sajian dari surga.

Istimewa. Kali pertama terasa istimewa karena di baliknya selalu tersembunyi gagahnya kebanggaan, ajaibnya pengalaman berikut lekatnya kenangan. Kali pertama terasa istimewa karena belum tentu kegembiraannya persis serupa di kali kedua. Lagipula, ia telah mengubah kita menjadi seseorang yang berbeda dibanding sebelumnya. Untuk semua kebaikan itu, bukankah kemudian kita layak bergembira dan berterimakasih?

Selebihnya, ambillah jeda sejenak. Pikirkan bahwa ada banyak orang di luar sana yang masih menanti kali pertama yang pernah kita hadapi dan kini tengah dihidupi kelanjutannya. Kita jelas perlu bersyukur untuk kali pertama yang satu itu. Kita akan tersadar bahwa pengalaman manis yang hadir di baliknya seringkali ampuh meredakan letih dan menjadi pengingat bahwa hidup sungguh tak seburuk penglihatan kita.


Aku Rindu