Feb 5, 2015

CINTA TRANSAKSIONAL



Pernikahan bukan tentang apa yang ‘aku’ punya dan tidak punya, bukan tentang apa yang ‘kamu’ punya dan tidak punya. Dalam pandangan saya, pernikahan yang diniatkan hanya untuk melengkapi kehidupan akan melahirkan cinta transaksional : cinta terpelihara karena ada tukar-menukar antar suami dan istri. Tukar-menukar kecantikan dan kekayaan, kebesaran nama dan kebesaran harta, keshalihan dan keindahan rupa, dan seterusnya, dan seterusnya.

Benar bahwa dalam pernikahan ada hak dan kewajiban yang membuat baik suami dan istri berhak meminta, dan di sisi lain berkewajiban untuk memberi, yang secara tidak langsung membentuk suatu ‘transaksi.’

“Aku kan sudah menjalani kewajiban mencari nafkah, mana pelayananmu terhadap saya?” ujar suami

Di saat yang sama, istri bisa saja berkata, “Aku sudah berlelah-lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah, merawat anak, melayanimu, sebagai kewajibanku. Sekarang, mana hak saya untuk belanja dan jalan-jalan?”

Berbicara hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan tentu bukan menjadi area saya. Yang saya ingin sampaikan adalah, kita bisa saja menjalani kehidupan pernikahan dengan pola pikir ‘hak-kewajiban’ seperti itu, dengan harapan pernikahan kita benar-benar berjalan dengan penuh pertanggungjawaban, karena itulah bobot besar hubungan pernikahan jika dibandingkan dengan hubungan pacaran. Dengan pola pikir seperti itu, kita bisa berharap tidak akan ada hak-hak yang terbengkalai, tidak ada yang terdzalimi.

Saya pernah mendengar cerita tentang sepasang suami istri yang murni menjalani pernikahannya dengan pola pikir ‘hak-kewajiban’ seperti demikian. Sang suami tengah mengalami kemunduran dalam karirnya, namun di saat yang sama, istrinya (bekerja) justru mendapat promosi jabatan di tempat kerjanya. Dalam kesepakatan mereka, suamilah pemberi nafkah utama. Uang suami adalah uang istri juga, sementara uang istri adalah uang istri.

Dalam kondisi seperti demikian, sang istri merasa sudah semestinya ia meminta haknya berupa nafkah perbulan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tidak salah, menurutnya. Karena toh itu memang menjadi kewajiban suami. Karena toh dia pun menjalani kewajibannya sebagai istri dengan baik, menurutnya.

Alhasil, suami yang di saat yang sama merasa terdominasi karena istrinya lebih berpenghasilan, merasa sangat terbebani dengan tuntutan tersebut. Akhirnya, sang suami frustasi. Istri terus meminta haknya. Perceraian pun tak dapat dicegah lagi.
Contoh di atas hanya ingin menggambarkan seperti apa pola hubungan yang saya sebut dengan pola hubungan ‘hak-kewajiban.’ Tidak semuanya seperti itu. Tidak semuanya berakhir seperti itu, saya yakin

Ya, kita bisa saja menerapkan pola pikir ‘hak-kewajiban’ dalam pernikahan di atas segala-galanya. Akan tetapi, jangan lupa bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah sakinah atau ketenangan, kestabilan jiwa.

Ikatan pernikahan berbeda dengan kontrak pekerjaan. Keduanya sama-sama tentang komitmen, yang darinya tercipta hak dan kewajiban antar kedua pihak. Namun, pernikahan tidak membuat istri menjadi pelayan atau atasan bagi suami. Pernikahan tidak membuat suami menjadi pegawai atau bos bagi istri. Pernikahan tidak sekaku dan sedingin itu. Pernikahan disyari’atkan agar hadir kedamaian hati, kekuatan dalam keluarga, kebersamaan dalam menaati Allah dan Rasul-Nya.

Pernikahan bukan jual beli, di mana ada transaksi antar dua pihak. Pernikahan juga bukan area medan perang, di mana harus ada yang menang dan yang kalah. Pernikahan juga bukan area meja hijau, di mana ada yang menuntut dan yang dituntut. Pernikahan adalah ikatan suci, yang membuat dua orang manusia saling mencintai bukan membenci, mengasihi bukan berperang, memberi bukan menuntut, membangun satu sama lain bukan menjatuhkan satu sama lain, sehingga keduanya dapat bersama-sama mendapati kehidupan yang tenang lahir batin, diberkahi Allah Swt, dan bermanfaat bagi kehidupan dan lingkungan.

Adapun hak dan kewajiban adalah hal yang tetap harus dijunjung, karena pertanggungjawabannya langsung berhadapan dengan Allah Swt. Tetapi, ingat pula bahwa pernikahan akan bisa bertahan jika di dalamnya senantiasa terpelihara empat hal : (1) keterbukaan terhadap karakter-karakter pasangan, yang melahirkan keinginan untuk terus mengenalnya (ta’aruf); (2) saling mencintai antar keduanya yang berlandaskan kecintaan terhadap Allah Swt, yang membuat keduanya semakin dekat kepada apa-apa yang dicintai Allah (tahabbu); (3) saling membantu dalam berbagai kondisi, mengedepankan kepentingan bersama dibandingkan ego masing-masing (ta’awwun); dan(4) menghargai pasangan dengan segala keunikan, kelebihan, dan kekurangannya, serta berlapang dada terhadap kesalahan maupun perbedaan (tasamuh).

Kekuatan cinta dalam pernikahan alangkah luar biasa besarnya. Ia akan begitu menghidupkan, merawat, menjaga, melayani, memberi, melindungi, menghargai, memotivasi, merelakan, dan menenangkan.

Sementara itu, mahligai pernikahan adalah perjalanan yang teramat panjang dan penuh cerita, baik cerita suka maupun duka. Siapa yang tak ingin berjalan terus bersama dalam perjalanan itu hingga pada ujung yang indah, yaitu surga? Siapa yang tak ingin pernikahannya berbuah keridoan Allah Swt? Ini adalah perjalanan yang luar biasa hebat. Ini adalah ibadah yang paling lama, selama diniatkan untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, dibutuhkan perbekalan yang tak biasa. Dibutuhkan kerja sama antar suami-istri yang lebih kuat ikatannya daripada kontrak pekerjaan. Mudah-mudahan cinta yang dipahami dan diresapi dengan benar dapat menjadi bekal yang kuat. Cinta yang mendekatkan keduanya kepada cinta yang sejati, yakni cinta kepada Allah Swt.

Maha suci Allah di atas segala-galanya.



Aku Rindu