Bagi kebanyakan perempuan, menikah adalah seperti menemukan kepingan
puzzle terakhir yang akan menggenapkan seluruh gambaran besar
kepingan-kepingan kehidupannya. Menikah dibayangkan seperti adanya
seorang pangeran berkuda yang datang dengan menawarkan hidup yang penuh
dengan kebahagiaan. Kemudian, yang terlintas di pikiran adalah tentang
pernikahan impian, gaun teranggun, riasan wajah tercantik, sampai
kehidupan cinta ala fairy tale.
Bagi kebanyakan laki-laki, menikah adalah seperti menemukan pelabuhan terakhir atau rumah untuk pulang setelah melakukan banyak perjalanan. Menikah dibayangkan seperti adanya seorang permaisuri yang bersedia diajak menyusuri jalan setapak perjalanan. Kemudian, yang terlintas di pikiran adalah tentang seseorang yang akan membantunya mengurusi banyak detail tentang kehidupannya.
Tapi, jika ternyata menikah adalah tentang serangkaian kompetensi, apa pendapatmu? Bayangkanlah, untuk melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan saja kita membutuhkan kompetensi yang jelas dan terukur agar dapat diterima, apalagi untuk menjalani kehidupan pernikahan, bukan?
Hmm, jadi begini, setiap manusia lahir dengan potensi yang dimiliki. Potensi berarti sesuatu yang dibawa sejak lahir, namun bisa saja tidak muncul karena tidak pernah diasah atau diberi kesempatan untuk berkembang. Potensi sifatnya masih belum terlihat, dan potensi yang sudah dimunculkan dalam bentuk perilakulah yang kemudian dinamakan kompetensi. “Masalahnya, menikah itu tidak hanya membutuhkan potensi, tapi membutuhakan kompetensi yang detail yang muncul dalam perilaku-perilaku yang terukur.”
Nah lho, menikah ternyata butuh kompetensi! Kompetensi apa saja? Banyak! Diantaranya adalah kompetensi dalam hal keimanan, pengasuhan, hidup sebagai pasangan, kehidupan sosial, kematangan berpikir, kedewasaan bersikap, dll. Semuanya butuh persiapan, ilmu dan kesediaan untuk terus memperbaiki diri. Maka, benar adanya bahwa hal terbaik yang dapat dilakukan dalam masa menunggu adalah memperbaiki diri.
Lantas, masihkah kamu berpikir bahwa menikah hanyalah tentang romansa dua orang yang jatuh cinta lalu memutuskan untuk hidup bersama?
Bagi kebanyakan laki-laki, menikah adalah seperti menemukan pelabuhan terakhir atau rumah untuk pulang setelah melakukan banyak perjalanan. Menikah dibayangkan seperti adanya seorang permaisuri yang bersedia diajak menyusuri jalan setapak perjalanan. Kemudian, yang terlintas di pikiran adalah tentang seseorang yang akan membantunya mengurusi banyak detail tentang kehidupannya.
Tapi, jika ternyata menikah adalah tentang serangkaian kompetensi, apa pendapatmu? Bayangkanlah, untuk melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan saja kita membutuhkan kompetensi yang jelas dan terukur agar dapat diterima, apalagi untuk menjalani kehidupan pernikahan, bukan?
Hmm, jadi begini, setiap manusia lahir dengan potensi yang dimiliki. Potensi berarti sesuatu yang dibawa sejak lahir, namun bisa saja tidak muncul karena tidak pernah diasah atau diberi kesempatan untuk berkembang. Potensi sifatnya masih belum terlihat, dan potensi yang sudah dimunculkan dalam bentuk perilakulah yang kemudian dinamakan kompetensi. “Masalahnya, menikah itu tidak hanya membutuhkan potensi, tapi membutuhakan kompetensi yang detail yang muncul dalam perilaku-perilaku yang terukur.”
Nah lho, menikah ternyata butuh kompetensi! Kompetensi apa saja? Banyak! Diantaranya adalah kompetensi dalam hal keimanan, pengasuhan, hidup sebagai pasangan, kehidupan sosial, kematangan berpikir, kedewasaan bersikap, dll. Semuanya butuh persiapan, ilmu dan kesediaan untuk terus memperbaiki diri. Maka, benar adanya bahwa hal terbaik yang dapat dilakukan dalam masa menunggu adalah memperbaiki diri.
Lantas, masihkah kamu berpikir bahwa menikah hanyalah tentang romansa dua orang yang jatuh cinta lalu memutuskan untuk hidup bersama?