Sekian banyak malam ia pakai untuk merenung tentang
kehidupan. Bertahun-tahun ia menanyakan untuk apa ia berada di dunia dan dunia
ini untuk apa. Rutinitas membuatnya semakin bertanya-tanya sebab setiap hari
waktu hanya akan memaksanya untuk melakukan hal yang sama. Sehingga ia tahu, ia
tidak bisa berkawan dengan kegiatan yang selalu berulang.
Ia tahu suatu saat ia akan berpulang. Ia paham apa-apa yang
dilakukannya kemarin, hari ini, atau mungkin bisa jadi esok, akan mendapat
perhitungan. Berkali-kali ia teringat pada janji untuk dirinya sendiri,
berkali-kali pula ia merasa lalai. Ia tidak bisa hidup semulus perjalanan yang
ia pikirkan dan ia rancang sebab ia tidak hidup seorang diri. Ia bersama yang
lain dan memang sudah seperti itu cara kerja dan fungsinya.
Percakapannya dengan waktu selalu saja menelurkan beragam
pertanyaan. Tentang bagaimana, kenapa, kapan, di mana, apa, dan siapa. Jawabannya
selalu saja pertanyaan.
Ia merasa takut pada ketidaksiapan namun mempersiapkan diri
pun sering sekali goyah. Ia khawatir menjadi sia-sia namun ia sering
menyia-nyiakan.
Berkali-kali ia bertanya pada waktu, pada langit, pada embus
udara, pada awan, pada burung yang beterbangan, pada dedaunan, pada dinding,
pada dirinya sendiri di depan cermin.
Terlalu sering ia bertanya pada dunia dan lupa bertanya pada
Tuhan. Pada-Nya ia sering lupa berbicara namun mengharapkan jawaban dari dunia.