Aug 7, 2015

Ditulung Malah Mentung

Bercerita tentang kesenangannya menolong orang. Dia tidak tega misalnya, melihat orang lain sengsara. Sepanjang memiliki kemampuan, ia akan berusaha meringankan beban orang lain. Ia selalu merasa senang tatkala orang lain tampak gembira. Bukan sebaliknya, merasa senang tatkala orang lain merasa susah.

Dari pengalamannya menolong orang lain itu, ternyata tidak selalu disambut baik, atau seimbang dengan pertolongan yang diberikannya. 

Ada saja orang yang baru saja ditolong sudah melupakan petolongan itu, dan bahkan membalas dengan keburukan. Dia menyebutnya persis menolong anjing terjepit. Setelah terlepas, anjing itu justru menggigit. Hal demikian itu seolah-olah lazim, hingga meneguhkan peribahasa Jawa yang mengatakan : ditulung mentung. Seseorang ditolong malah menyakiti orang yang menolongnya.

Manusia memang tidak selalu mampu bersyukur, atau berterima kasih kepada siapapun, termasuk bahkan kepada Tuhan. Istilah kufur nikmat ternyata dialami oleh banyak manusia. Hal demikian itu sebenarnya telah diperingatkan oleh Tuhan di dalam al Qur'an, bahwa sebenarnya sedikit saja orang yang bisa bersyukur, wa qolilum min ibadiyas syakuur. Dan hanya sedikit saja dari hamba Allah yang mampu bersykur.


Kemampuan bersyukur ternyata bukan selalu terkait dengan jenjang pendidikan seseorang. Tidak selalu bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi menjadi pandai bersyukur dan begitu pula sebaliknya. Yaitu, seseorang yang berpendidikan rendah tidak mampu bersyukur. Bisa jadi, keadaannya justru bisa berbalik, seorang yang jenjang pendidikannya rendah, ternyata sangat pandai bersyukur.


Orang berpendidikan tinggi, selalu pintar berkalkulasi. Tatkala mendapatkan sesuatu maka kemudian menghitung-hitung sebagaimana orang berdagang. Lewat perhitungan yang dilakukan itu, mereka menyimpulkan, bahwa apa yang diperoleh sudah seimbang dengan apa yang dikeluarkan, atau seolah-olah apa yang diperolehnya sudah dianggap seharusnya diterima dan dianggap sebagai haknya. Atas anggapan itu, mereka merasa tidak perlu ada pihak lain yang perlu disangkut pautkan dan diapresiasi atas kebaikannya.


Akhirnya, rasa syukur ternyata bukan datang dari kekuatan pikiran atau ranah nalar, melainkan dari kelembutan hati. Memang, seseorang yang kaya ilmu seharusnya juga sekaligus hatinya menjadi lembut, sehingga pandai bersyukur. Namun ternyata keadaannya tidak selalu demikian. Sekalipun kaya ilmu, bisa saja, kekuatan ilmunya belum mampu menghaluskan atau menjadikan hatinya lembut. Antara akal dan hati ternyata tidak selalu sejalan seiring. Bahkan, lebih celaka lagi, tidak sedikit orang yang berilmu tetapi justru ilmunya menjauhkan dirinya dari sifat syukur dan berbuat baik. 

 
Sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini mengaku bahwa kadang merasa sulit memahami orang lain. Latar belakang pendidikan seseorang ternyata tidak selalu berkorelasi dengan perilakunya. Sekalipun sudah ditolong, bukannya berterima kasih, tetapi justru membalas dengan keburukan. Kejadian itu mengingatkannya pada perilaku anjing. Tatkala dilepas dari posisinya yang sedang terjepit, ternyata anjing itu malah menggigit. Anjing dimaksud tidak mengerti, bahwa orang yang melepaskannya itu sebenarnya adalah justru menyelamatkannya. Tetapi anehnya, malah digigit. Dalam peribahasa Jawa : ditulung mentung. Menolong pun akhirnya beresiko.

Sebenarnya manusia sangat berbeda dari anjing. Mereka tahu, siapa yang telah menolongnya dan seharusnya membalas dengan ucapan terima kasih. Namun, pada kenyataannya juga tidak selalu begitu. Ada saja orang yang ditolong, tapi ternyata malah membalas dengan keburukan. Memang, terkadang perilaku manusia menyerupai perilaku anjing. Sudah dibantu, atau dilepas dari kesulitan, sebagaimana anjing dilepas dari benda yang menjepitnya, ternyata malah menganiaya orang yang menolongnya. Semoga kita semua tidak begitulah. Seharusnya berusaha menghargai pertolongan dan berterima kasih. Wallahu a'lam.

Aku Rindu