Apr 8, 2015

Sosial Media: Airbrush Reality


Sosial media kadang mendorong kita menjadi pemoles fakta.
Di sosial media, kita menyulap realita menjadi terlihat lebih baik dari aslinya. Instagram membuat foto terlihat lebih berwarna dari yang sesungguhnya. Path menyulap setiap momen terlihat lebih menakjubkan dari yang sebenarnya. Twitter membuat kata-kata kita terlihat lebih bermakna dari kenyataannya.

Berbagi momen, cerita, hal menyenangkan di sosmed dianggap sebagai salah satu hal keren yang kekinian. 
Gampangnya sih, kebanyakan orang sekarang menjadikan sosmed sebagai diari pribadi. Apapun yang dialami harus segera dibagikan ke sosmed.
Perhatikan bahwa ada kata “terlihat” di setiap kalimat saya. Artinya, saya tidak mengatakan bahwa momen hidup kita tidak mungkin sebaik yang kita tampilkan di sosial media. Hanya saja, most of the time, kita membuatnya terlihat lebih dari aslinya. Dalam sebuah artikel di Daily Mail, kolumnis Barney Calman menyebut fenomena ini dengan istilah Airbrush Reality
Airbrush Reality secara simpel adalah fenomena ketika kita memoles fakta dengan bumbu-bumbu yang sebenarnya tidak pernah ada. Mengutip Calman, “we make it looked better than it actually is”
Mengapa kita melakukan pemolesan fakta?
Ada dua jawaban untuk hal ini.
Pertama, kita ingin terlihat punya kehidupan yang sangat menarik di mata orang lain. 
Narsisisme dan eksistensi adalah hal yang sangat penting bagi orang-orang di zaman sekarang. Tanpa bercerita melalui sosial media, rasanya tidak ada yang benar-benar terjadi dalam hidup kita. Persis seperti jargon “no pic=hoax” yang populer di kalangan netizen, memamerkan segala hal yang kita alami menjadi penting. Kita takut terlihat membosankan, sehingga pemolesan fakta menjadi wajib dilakukan untuk bisa eksis di pergaulan.
Kedua, karena kita iri dengan apa yang dimiliki dan diperlihatkan oleh orang lain. Kita tidak mau kalah dan ingin juga terlihat setara, bahkan lebih dengan apa yang orang lain punya. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang belajar dengan meniru dan ikut-ikutan. Perilaku kita sebagai makhluk yang berkelompok juga menimbulkan rasa tidak nyaman ketika kita terlihat berbeda dengan anggota lain dalam kelompok. Jika semua orang memamerkan barang yang dipakai, makanan di restoran, dan tempat yang dikunjungi, mengapa saya tidak melakukannya juga? Pasti ingin melakukan yang lebih dari orang itu. Perilaku ini terus mendorong agar kita menjadi bagian dari mayoritas, dalam hal ini, mereka yang memamerkan segala sesuatunya di dunia maya dengan pemolesan fakta.
Pemolesan fakta berbahaya untuk ingatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Pencourage menunjukkan bahwa pemolesan fakta bisa membuat kita kehilangan memori. Perilaku memoles fakta membuat otak kita mengingat memori yang salah dari fakta yang sebenarnya. Sebagai contoh: ketika kita pergi ke pantai, kita mengambil foto saat sunrise. Langit sunrise saat itu sebenarnya berwarna datar dan biasa saja sih ya…, tapi kemudian kita mengunggahnya di Instagram, lalu memberikan filter sehingga foto yang dihasilkan terlihat dramatis dengan gradasi langit yang memukau.
Otak kita akan melupakan bahwa sunrise di hari itu (yang kita lihat dengan mata telanjang) berwarna datar dan biasa saja. Memori yang akan tersimpan di otak kita adalah bahwa pemandangan di hari itu dramatis, dengan gradasi langit yang memukau.
Pemolesan fakta membuat kita mengingat kebohongan dan melupakan fakta yang sebenarnya.
Nah yang cukup miris nich, kalau saya membaca beberapa status di sosmed adalah sebuah hasil studi dari lembaga analisis bernama Pencourage. Tren pamer status di sosmed, ternyata berdampak lain, yakni meningkatnya pengguna yang mem-posting suatu kebohongan. Banyak orang kemudian memposting atau membuat status, yang tidak sesuai dengan kondisi aslinya agar terlihat keren dan memiliki kehidupan yang fantastis di mata teman-teman sosial medianya. Tapi mereka sudah terlalu nyaman dengan kebohongan dan melupakan fakta yang sebenarnya, dan mereka tidak sadar kalau teman yang disekitarnya juga ikut membaca status yang di tulis di sosmed.
Sekedar lucu-lucuan, mungkin tidak masalah. Tetapi jika hal itu dilakukan secara sadar untuk membuat dirinya terlihat menarik di sosmed, dan dilakukan dengan konsisten, ternyata ada pengaruh yang berbahaya dari kegiatan tersebut mas bero dan mbak sest. Pencourage mengatakan, perilaku pengguna yang seperti itu memiliki potensi menyebabkan kerusakan otak pelaku. Kebohongan yang dipublikasikan di sosmed, atau jejaring sosial lain, dinilai bisa menyebabkan ingatan masa lalu lama kelamaan terdistorsi oleh informasi palsu yang dibuat sendiri.
“Bersaing dan ingin mengedepankan segala yang terbaik, mencari perhatian atau empati dari orang lain adalah sesuatu yang lumrah. Akan tetapi sisi buruknya adalah ketika Anda semakin jauh menyelami hal tersebut, kemudian menyangkal hal otentik dari diri kita sendiri, sampai pada tingkatan kita tak lagi bisa mengenali pengalaman-pengalaman, memori tentang diri kita sendiri,” jelas Dr Richard Sherry, psikolog dari tim peneliti Pencourage. Sebelumnya juga ada peneliti menemukan bahwa media sosial dapat merusak memori autobiografi.
Saatnya berhenti sejenak untuk mulai memperhatikan bagaimana kita berperilaku di sosial media. Meskipun sulit, mulailah belajar untuk menggunakan sosial media untuk berbagi setulus-tulusnya. Mulailah belajar untuk bercerita dengan kalimat yang sejujur-jujurnya. Mulailah untuk bercerita dengan fakta yang sebenarnya. 


Aku Rindu