Sosial media
kadang mendorong kita menjadi pemoles fakta.
Di sosial
media, kita menyulap realita menjadi terlihat lebih baik dari aslinya.
Instagram membuat foto terlihat lebih berwarna dari yang sesungguhnya. Path
menyulap setiap momen terlihat lebih menakjubkan dari yang sebenarnya. Twitter
membuat kata-kata kita terlihat lebih bermakna dari kenyataannya.
Berbagi
momen, cerita, hal menyenangkan di sosmed dianggap sebagai salah satu hal keren
yang kekinian.
Gampangnya sih, kebanyakan orang sekarang menjadikan sosmed sebagai diari pribadi. Apapun yang dialami harus segera dibagikan ke sosmed.
Gampangnya sih, kebanyakan orang sekarang menjadikan sosmed sebagai diari pribadi. Apapun yang dialami harus segera dibagikan ke sosmed.
Perhatikan
bahwa ada kata “terlihat” di setiap kalimat saya. Artinya, saya tidak
mengatakan bahwa momen hidup kita tidak mungkin sebaik yang kita tampilkan di
sosial media. Hanya saja, most of the time, kita membuatnya terlihat
lebih dari aslinya. Dalam sebuah artikel di Daily Mail, kolumnis
Barney Calman menyebut fenomena ini dengan istilah Airbrush Reality.
Airbrush
Reality secara
simpel adalah fenomena ketika kita memoles fakta dengan bumbu-bumbu yang
sebenarnya tidak pernah ada. Mengutip Calman, “we make it looked better than
it actually is”.
Mengapa
kita melakukan pemolesan fakta?
Ada dua
jawaban untuk hal ini.
Pertama, kita ingin terlihat punya kehidupan yang sangat menarik di mata orang lain.
Narsisisme dan eksistensi adalah hal yang sangat penting bagi orang-orang di zaman sekarang. Tanpa bercerita melalui sosial media, rasanya tidak ada yang benar-benar terjadi dalam hidup kita. Persis seperti jargon “no pic=hoax” yang populer di kalangan netizen, memamerkan segala hal yang kita alami menjadi penting. Kita takut terlihat membosankan, sehingga pemolesan fakta menjadi wajib dilakukan untuk bisa eksis di pergaulan.
Pertama, kita ingin terlihat punya kehidupan yang sangat menarik di mata orang lain.
Narsisisme dan eksistensi adalah hal yang sangat penting bagi orang-orang di zaman sekarang. Tanpa bercerita melalui sosial media, rasanya tidak ada yang benar-benar terjadi dalam hidup kita. Persis seperti jargon “no pic=hoax” yang populer di kalangan netizen, memamerkan segala hal yang kita alami menjadi penting. Kita takut terlihat membosankan, sehingga pemolesan fakta menjadi wajib dilakukan untuk bisa eksis di pergaulan.
Kedua,
karena kita iri dengan apa yang dimiliki dan diperlihatkan oleh orang lain.
Kita tidak mau kalah dan ingin juga terlihat setara, bahkan lebih dengan apa
yang orang lain punya. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang belajar
dengan meniru dan ikut-ikutan. Perilaku kita sebagai makhluk yang berkelompok
juga menimbulkan rasa tidak nyaman ketika kita terlihat berbeda dengan anggota
lain dalam kelompok. Jika semua orang memamerkan barang yang dipakai, makanan
di restoran, dan tempat yang dikunjungi, mengapa saya tidak melakukannya juga? Pasti
ingin melakukan yang lebih dari orang itu. Perilaku ini terus mendorong agar
kita menjadi bagian dari mayoritas, dalam hal ini, mereka yang memamerkan
segala sesuatunya di dunia maya dengan pemolesan fakta.
Pemolesan
fakta berbahaya untuk ingatan.
Penelitian
yang dilakukan oleh Pencourage menunjukkan bahwa pemolesan fakta bisa
membuat kita kehilangan memori. Perilaku memoles fakta membuat otak kita
mengingat memori yang salah dari fakta yang sebenarnya. Sebagai contoh: ketika
kita pergi ke pantai, kita mengambil foto saat sunrise. Langit sunrise saat itu
sebenarnya berwarna datar dan biasa saja sih ya…, tapi kemudian kita
mengunggahnya di Instagram, lalu memberikan filter sehingga foto yang
dihasilkan terlihat dramatis dengan gradasi langit yang memukau.
Otak kita
akan melupakan bahwa sunrise di hari itu (yang kita lihat dengan mata
telanjang) berwarna datar dan biasa saja. Memori yang akan tersimpan di otak
kita adalah bahwa pemandangan di hari itu dramatis, dengan gradasi langit yang
memukau.
Pemolesan
fakta membuat kita mengingat kebohongan dan melupakan fakta yang sebenarnya.
Nah yang
cukup miris nich, kalau saya membaca beberapa status di sosmed adalah sebuah hasil
studi dari lembaga analisis bernama Pencourage. Tren pamer status di sosmed,
ternyata berdampak lain, yakni meningkatnya pengguna yang mem-posting suatu
kebohongan. Banyak orang kemudian memposting atau membuat status, yang tidak
sesuai dengan kondisi aslinya agar terlihat keren dan memiliki kehidupan yang
fantastis di mata teman-teman sosial medianya. Tapi mereka sudah terlalu nyaman
dengan kebohongan dan melupakan fakta yang sebenarnya, dan mereka tidak sadar kalau
teman yang disekitarnya juga ikut membaca status yang di tulis di sosmed.
Sekedar
lucu-lucuan, mungkin tidak masalah. Tetapi jika hal itu dilakukan secara sadar
untuk membuat dirinya terlihat menarik di sosmed, dan dilakukan dengan
konsisten, ternyata ada pengaruh yang berbahaya dari kegiatan tersebut mas bero
dan mbak sest. Pencourage mengatakan, perilaku pengguna yang seperti itu
memiliki potensi menyebabkan kerusakan otak pelaku. Kebohongan yang dipublikasikan
di sosmed, atau jejaring sosial lain, dinilai bisa menyebabkan ingatan masa lalu
lama kelamaan terdistorsi oleh informasi palsu yang dibuat sendiri.
“Bersaing
dan ingin mengedepankan segala yang terbaik, mencari perhatian atau empati dari
orang lain adalah sesuatu yang lumrah. Akan tetapi sisi buruknya adalah ketika
Anda semakin jauh menyelami hal tersebut, kemudian menyangkal hal otentik dari
diri kita sendiri, sampai pada tingkatan kita tak lagi bisa mengenali
pengalaman-pengalaman, memori tentang diri kita sendiri,” jelas Dr Richard
Sherry, psikolog dari tim peneliti Pencourage. Sebelumnya juga ada peneliti menemukan bahwa media sosial dapat merusak memori autobiografi.
Saatnya
berhenti sejenak untuk mulai memperhatikan bagaimana kita berperilaku di sosial
media. Meskipun sulit, mulailah belajar untuk menggunakan sosial media untuk
berbagi setulus-tulusnya. Mulailah belajar untuk bercerita dengan kalimat yang
sejujur-jujurnya. Mulailah untuk bercerita dengan fakta yang sebenarnya.