Perempuan itu tertunduk dalam-dalam sembari berbisik pada
Tuhannya, bercerita tentang keluh kesah hidup dan kehidupan yang harusnya ia
syukuri namun kadang ia dustakan. Demi mengingati setiap detik yang tersiakan
ia menjadi semakin tertunduk dalam-dalam memohon ampunan Tuhannya.
Dihadapan Tuhannya, bahu yang ia tegakkan ketika ia berjalan
seketika itu layu ketika menyadari bahwa Tuhan lah yang menegakkan bahunya,
menguatkannya menanggung beban pada hidupnya, mengakkannya membuat ia terlihat
tangguh, namun dihadapan Tuhannya ia layu.
Dihadapan Tuhannya kedua tangannya menengadah ke langut,
meminta kebaikan langit untuk memberinya berkah untuk hidupnya. Kedua tangan
yang jarang sekali membantu oranglain, jarang sekali memberi pada yang lain.
Perempuan itu semakin tertunduk dalam-dalam.
Dihadapan Tuhannya hati yang rapuh itu menjadi
sebenar-benarnya rapuh, meleleh menjadi tetesan air mata, terpecah belah menjadi
beberapa bagian. Hati yang didalamnya entah ada Tuhan atau makhluk Tuhan, entah
yang mana yang lebih ia cintai, entah seberapa lapang hatinya untuk memaafkan saudaranya.
Sebab itu ia semakin tertunduk dalam-dalam pada doanya.
Dihadapan Tuhannya perempuan itu tak berdaya, lemah, kerdil,
fakir. Darimana lagi sumber ketangguhan dan kelapangan hati yang selama ini
orang lain lihat terdapat pada diri perempuan itu? ia bersumber dari doa-doa
yang berpilin melesat menuju langit. Betapa ia tertunduk dalam-dalam pada
setiap doanya untuk belajar mencintai Tuhannya dengan sangat.