Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan
situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram; hijau
diantara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba; ia akan
mengendap-ngendap menyusup ke dalam urat nadimu, meledakkan jantungmu,
lalu meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya. Dengan cara
yang termanis, kau membuatku merasakan dan mensyukuri segala hal yang
cepat atau lambat akan berakhir.
Aku pikir kau sejauh langit, sedangkan aku duduk manis di bumi. Melihatmu dari sudut pandangku sendiri. Aku sadar kita diciptakan beda dimensi. Namun, tidak salah jika aku memandangmu dengan caraku sendiri karena dibumiku belum sempat aku temukan lagi makhluk sepertimu. Dan dilangit itu cuma ada satu yang sepertimu; kamu.
Kalau saja aku mampu, sudah kukejar langkahmu agar kita berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah kuhiasi hari-harimu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah kutemani dirimu saat dirundung kesedihan. Kalau saja aku mampu, sudah kupastikan bahwa aku pantas untuk kau sandingkan. Tapi, aku hanya mampu memandangimu dari kejauhan, padahal kau pantas untuk segala pengorbanan.
Engkaulah batas dimensi imaji dan realitas.
Aku pikir kau sejauh langit, sedangkan aku duduk manis di bumi. Melihatmu dari sudut pandangku sendiri. Aku sadar kita diciptakan beda dimensi. Namun, tidak salah jika aku memandangmu dengan caraku sendiri karena dibumiku belum sempat aku temukan lagi makhluk sepertimu. Dan dilangit itu cuma ada satu yang sepertimu; kamu.
Kalau saja aku mampu, sudah kukejar langkahmu agar kita berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah kuhiasi hari-harimu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah kutemani dirimu saat dirundung kesedihan. Kalau saja aku mampu, sudah kupastikan bahwa aku pantas untuk kau sandingkan. Tapi, aku hanya mampu memandangimu dari kejauhan, padahal kau pantas untuk segala pengorbanan.
Engkaulah batas dimensi imaji dan realitas.