Sep 23, 2017

Pemikat Malam

Kita sedang duduk di bawah bentangan langit yang bertaburan bintang. Cahaya rembulan tersenyum menyabit, seperti kue yang minta digigit, begitu legit. Kau masih di sampingku, tidak beranjak walau sedikit hingga hatiku lama-lama semakin kebat-kebit. Andai saja detik ini aku bisa menjerit.

Di tengah hening yang mendera, kau tiba-tiba memintaku untuk memilih antara malam atau siang. Aku menatapmu heran. Jawaban seperti apa yang kauharapkan? Apakah jawabanku akan mengubah kenyataan bahwa di kala siang kau akan kembali lenyap dari kehidupan?

Tentu aku memilih malam karena kau kerap hadir menghapus kelam. Segala riuh hilang, tak lagi runyam. Segala rindu terbalas, senyummu selalu mampu menyihirku di bawah temaram. Meski lebih sering terdiam, hati kita saling menggenggam.

Kau tahu, meski malam dan siang masihlah sebuah hari yang tak terpisahkan, aku memilih malam. Bukankah pada awalnya semesta ini pun adalah malam? Setelah itu, barulah ada siang. Jika alam saja mendahulukan malam, mengapa aku harus mendahulukan siang?

Aku ingin menatapmu lebih lama, sesekali bercengkerama. Di siang hari kau melangkah di lain dunia, tak pernah kita dapat bersama. Aku bukan kau yang bisa pergi ke mana saja, berkelana entah untuk apa. Aku hanya terus di sini, di tempat kita mengikat benang-benang tipis sehidup hingga setelah mati.

Kau menatapku, tanpa berkata. Tatapan yang menyiratkan segala rasa itu selalu membuatku jatuh cinta. Namun, selalu juga, setelah itu kau lenyap, hilang menjadi seberkas cahaya, terbang ke langit yang entah ujungnya di mana. Aku sering bertanya-tanya, di sebelah mana angkasa aku bisa menemukan satu jiwa yang selalu ada?

Kau tahu, mencintai sosok yang hidup di dimensi berbeda bukanlah hal yang sederhana. Seluruh dunia menyebutku gila. Namun, tak apa karena memang hanya kepadaku kau menunjukkan jiwa. Pada dunia, kau tak pernah lagi menunjukkan raga. Hingga nanti kita bertemu dan di tempat berdiammu ada siang dan malam, ketahuilah bahwa aku akan selalu memilih malam.

Aku Rindu