Aku sedang membayangkan kamu duduk di depanku, tersenyum
dengan kebahagiaan yang melingkupi obrolan kita berdua. Maaf, atas
ketidaknyamanan hubungan kita selama ini. Andai kita tidak mengagungkan ego
kita masing-masing, tentu perpisahan masih menjadi suatu hal yang kita
pantangkan. Namun sayang, masing-masing dari kita tidak mempunyai pilihan.
Hal yang aku lakukan saat aku sedang merindukanmu adalah
berkunjung pada tempat-tempat yang menjadi kesukaanmu. Salah satunya adalah
kedai kopi pusat kota yang selalu kau singgahi saat penat menghampiri. Di sini,
di tempat ini, aku kembali mengenangmu. Jejakmu masih tertinggal di sini. Meja
dan kursi menjadi saksi betapa bahagianya kita saat itu dengan obrolan-obrolan
sederhana yang sengaja kita ciptakan. Aku rindu kamu, juga hubungan kita yang
dulu.
Kopi yang aku pesan semakin mendingin, kursi yang ada di
depanku juga belum ada yang menduduki; berharap kamu yang saat ini duduk di
hadapanku. Ramai di sekitarku, namun keramaian itu hanya semakin menyadarkanku
bahwa aku sedang sendirian—merasa hening karena keadaan telah mengubah cinta
kita menjadi semakin mengering.
Kopi yang aku pesan rasanya pahit, padahal sudah kutambahkan
krim dan karamel di atasnya. Ini seperti hubungan kita saja, tak adil rasanya bila
hanya aku yang memberikan sentuhan manis, dan kamu mengubah rasa manis itu
menjadi akhir cerita yang begitu pahit. Tragis.
Tolong katakan sekali saja aku harus bagaimana. Sebab, sudah
sekian lama aku menutup luka ini dengan berpura-puraan bahwa aku juga baik-baik
saja seperti kamu yang di sana sedang bahagia dengan dia.
Tolong temui aku sekali lagi di kedai kopi pusat kota. Aku
ingin mengembalikan segala kenangan tentangmu yang selalu menghantui
hari-hariku. Bungkus dan bawa pulanglah kenangan itu. Suatu hari kamu akan
tahu, luka terhebatku penyebabnya adalah kamu.