May 16, 2018

Kopi Pahit Bersamaku


Aku sedang membayangkan kamu duduk di depanku, tersenyum dengan kebahagiaan yang melingkupi obrolan kita berdua. Maaf, atas ketidaknyamanan hubungan kita selama ini. Andai kita tidak mengagungkan ego kita masing-masing, tentu perpisahan masih menjadi suatu hal yang kita pantangkan. Namun sayang, masing-masing dari kita tidak mempunyai pilihan.

Hal yang aku lakukan saat aku sedang merindukanmu adalah berkunjung pada tempat-tempat yang menjadi kesukaanmu. Salah satunya adalah kedai kopi pusat kota yang selalu kau singgahi saat penat menghampiri. Di sini, di tempat ini, aku kembali mengenangmu. Jejakmu masih tertinggal di sini. Meja dan kursi menjadi saksi betapa bahagianya kita saat itu dengan obrolan-obrolan sederhana yang sengaja kita ciptakan. Aku rindu kamu, juga hubungan kita yang dulu.

Kopi yang aku pesan semakin mendingin, kursi yang ada di depanku juga belum ada yang menduduki; berharap kamu yang saat ini duduk di hadapanku. Ramai di sekitarku, namun keramaian itu hanya semakin menyadarkanku bahwa aku sedang sendirian—merasa hening karena keadaan telah mengubah cinta kita menjadi semakin mengering.

Kopi yang aku pesan rasanya pahit, padahal sudah kutambahkan krim dan karamel di atasnya. Ini seperti hubungan kita saja, tak adil rasanya bila hanya aku yang memberikan sentuhan manis, dan kamu mengubah rasa manis itu menjadi akhir cerita yang begitu pahit. Tragis.

Tolong katakan sekali saja aku harus bagaimana. Sebab, sudah sekian lama aku menutup luka ini dengan berpura-puraan bahwa aku juga baik-baik saja seperti kamu yang di sana sedang bahagia dengan dia.

Tolong temui aku sekali lagi di kedai kopi pusat kota. Aku ingin mengembalikan segala kenangan tentangmu yang selalu menghantui hari-hariku. Bungkus dan bawa pulanglah kenangan itu. Suatu hari kamu akan tahu, luka terhebatku penyebabnya adalah kamu.


Aku Rindu