Tidak ada yang tahu, bagaimana kehidupan akan berjalan di
depan. Hanya rangkaian di belakang saja yang akan terus terkenang karena sudah
benar-benar terjadi. Terjadi pun bahkan tidak atas apa yang dikehendaki, hanya
menjadi pion yang bergerak oleh takdir yang ada. Bukan tanpa alasan untuk tidak
mengenang, mungkin karena tidak ingin kembali mengenang hal yang tidak ingin
dikenang.
Ramadhan pasti terus datang. Bulan mulia ini terus saja
datang dan disambut sejuta umat. Bulan yang lain daripada bulan lainnya. Umat
Islam merayakan segenap keutamaan yang ada di bulan ini. Doktrin yang terus
saja disampaikan dalam mimbar-mimbar pengajian. Bahkan hal ini dilakukan
sebelum Ramadhan tiba.
“Allahumma bariklana fi rojaba, wa sya’bana, wa balighna
romadhona”
Doa di atas sering terdengar hingga ratusan kali dalam
sebulan. Minimal karena menjadi puji-pujian di antara waktu Adzan dan Iqamah.
Setiap kali berkumandang selama lima kali, dalam sehari doa itu akan terus
dipanjatkan juga selama lima kali. Belum diulang-ulang dalam satu waktu
tersebut. Misal satu kali majlis membaca sepuluh doa tersebut, maka sehari akan
membaca lima puluh doa. Tinggal kalikan saja dalam sebulan. Minimal seratus
lima puluh kali doa Rojab itu terdengar di telinga.
Ramadhan, sering kali menandai bulan ini dengan berbagai
kebiasaan unik. Entah kenapa, justru di bulan ini harus menghitung kembali
siapa orang-orang yang berjumpa dengan Ramadhan atau bahkan mereka yang telah
meninggal. Sensus dadakan, dengan segenap daya ingat manusia yang terbatas.
Terkadang membuat termenung, karena yang disensus ternyata sudah meninggal.
Kapan meninggalnya?
Ramadhan selalu unik. Setidaknya menandai hal itu dengan
upacara yang dilakukan anak kecil. Ada sebuah permainan yang hal ini sangat
asyik dilakukan ketika Ramadhan. Salah satunya adalah bermain petasan. Meski
petasan sendiri merupakan hal yang termasuk baru. Ada pula yang bermain ini,
namanya Mercon Bumbung, atau meriam bambu. Ini biasanya yang sangat khas di
Ramadhan. Suaranya dan euforianya tidak dapat digantikan.
Ramadhan pada masa itu, anak-anak yang sedang berlatih
berpuasa dipantau melalui sebuah buku. Buku yang hanya berisi tabel-tabel untuk
diisi dengan rajin dan tertib. Mulai dari pelaksanaan puasa, apa sehari full
atau bolong-bolong? Sholat lima waktu pun iya harus dicentang begitu pula
Tarawih. Tadarus dan kuliah subuh pun juga dilaporkan. Begitu karena akan
ditumpuk kembali ke guru agama di sekolah. Ya, buku itu dari sekolah dan akan
dikembalikan ke sekolah lagi.
Ramadhan, bulan yang akan selalu dikenang siapa juga. Bulan
ini mempunyai daya tarik yang begitu memikat dengan dihadapkan keadaan
mayoritas masyarakat yang beragama Islam. Selalu ada saja di daerah-daerah yang
mempunyai caranya sendiri dalam memeriahkan bulan mulia ini. Tentu saja, bagi
orang yang telah berumur lebih dari dua puluh tahun, menceritakan Ramadhan di
masa lalunya kepada adik-adik menjadi proses mengenang secara tidak langsung.
Ramadhan, ia akan menagih janjinya. Siapapun yang menyambut
dengan suka cita maka api neraka tidak akan membakar tubuh dari orang yang
bersuka cita datangnya Ramadhan. Untuk itulah, marilah Ramadhan tahun ini
sarana untuk memperbaiki diri dan melakukan muhasabah. Sehingga ketika nanti
berakhir, pantas menyandang orang yang telah kembali fitri.