Mar 8, 2016

Hari Perempuan Internasional : Jika Berakhir di Rumah Tangga

“Sekarang ketika sudah menikah, apakah kamu bersedia untuk mengabdikan dirimu di dalam rumah untuk mengurusi segala urusan rumah tangga? Atau, akankah kamu memilih untuk bekerja?”
Ternyata hari ini adalah Hari Perempuan Internasional. Di kesempatan ini, saya ingin membahas satu hal yang menjadi perdebatan di hati banyak perempuan, yaitu tentang bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Bagi sebagian perempuan, pilihan ini mudah saja untuk dipilih karena mereka telah benar-benar memahami apa yang menjadi tujuan hidupnya. Tapi, bagi sebagian perempuan yang lain, ini adalah pilihan yang dilematis, seperti buah simalakama.

Untuk memilih diantara kedua pilihan ini, setiap perempuan pasti memiliki pilihannya masing-masing. Bagaimana dengan saya? Oke, saya cerita sedikit yaa!

Saya teringat sebuah perbincangan, waktu itu saya belum menikah, tepatnya di stasiun kereta dengan seorang sahabat. Saat rehat setelah menempuh perjalanan jauh, sahabat saya itu tiba-tiba bertanya,

“jika, kalau nanti kamu menikah, kamu mau gak kalau suamimu meminta kamu untuk jadi ibu rumah tangga aja?”

Dan saya menjawab, “Waaah, jelas mau dong! Mau banget! Gak masalah sih buat aku. Eh kenapa emangnya tiba-tiba bahas ini?”

“Gak apa-apa sih, pengen nanya aja. Terus, kamu gak sayang udah capek-capek kuliah Ekonomi, belajar, baca buku tebel-tebel? Gak pengen gitu jadi bagian dari perusahaan paling kece di Indonesia?”

“Hahahaha! Siapa bilang aku capek? Semuanya dijalanin dengan senang hati kok, kalau harus berakhir di rumah tangga ya ngapain juga harus menyesal. Hmm, yang lebih butuh aku itu anak aku, bukan perusahaan lalalalala itu.”

“Seriusan kamu gak akan kecewa sama suami kamu nanti yang nyuruh kayak gitu?”

“Enggak lah. Gak boleh kerja sih gak akan bikin aku kecewa, yang bikin aku kecewa mungkin kalau aku gak boleh belajar.”

“Kuliah maksudnya?”

“Hehe, belajar gak mesti kuliah aja kan?”

Lingkungan luar pernah membuat saya berpikir bahwa memutuskan untuk menanggalkan semua atribut pendidikan dan pekerjaan demi untuk menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan rendahan. Tapi, banyak hal terjadi membuat saya memikirkan ulang semuanya. 

Pertama, saya melihat teman saya yang berbahagia dengan pilihannya untuk keluar dari pekerjaan sejak saat mengandung anak pertama. Senior saya di kantor pernah menginspirasi saya, katanya, “Tidak bekerjanya seorang istri tidak akan pernah membuat rezeki keluarga berkurang, kok! Pengalaman nih.”
 
Kedua, banyaknya kasus psikologis yang saya ketahui karena kasus motherless dan fatherless. Saya meyakini bahwa banyak permasalahan anak yang bermula dari masalah pola asuh. And I don’t wanna be one of them!

Ketiga, entah bagaimana, Islam membuat saya berpikir bahwa perempuan yang mengabdikan diri untuk suami dan anak-anak adalah perempuan paling cerdas diantara perempuan-perempuan cerdas lainnya. 

Bagi saya yang namanya belajar dan bekerja tidak harus di kantor dan tidak harus di luar rumah, dan saya berbahagia dengan aktifitas apapun yang saya lakukan selalu di dukung oleh suami tercinta mas paijoku sayang.

Bismillah ya, semoga kalian semua sebagai perempuan bisa melakukan yang terbaik dari yang terbaik.., Amin... 

Hmm, bagaimana denganmu, apakah akan keberatan jika suami memintamu untuk menjadi ibu rumah tangga?

Aku Rindu