Aug 28, 2015

Perasaan Pasangan

“Suami istri seharusnya lebih independen terhadap perasaannya, dalam arti tidak menggantungkan perasaan pada pasangannya. Namun, suami istri dapat saling mengandalkan dalam pembagian peran.” 

Pernahkah kamu mendengar, membaca atau melihat langsung seseorang yang menjadi sangat menderita saat pasangannya pergi meninggalkannya? Ditinggal meninggal misalnya. Saat pasangannya pergi, ia menjadi sekarat, mudah sakit, tidak ada gairah hidup. Seperti tidak ada lagi kebahagiaan di dunia ini karena satu-satunya sumber kebahagiaannya telah tiada. Ini dapat terjadi karena kebergantungan perasaan terhadap pasangannya. Kebergantungan perasaan sangat berbahaya karena dapat menjadi syirik, menduakan Allah. Yang paling dicintainya bukan Allah, tapi pasangannya.

Kebergantungan perasaan dapat membuat istri tidak berani menegur saat suami melakukan kesalahan. Misalnya istri tidak berani menegur suami saat sumber nafkah suami syuhbat atau bahkan haram. Zaman sekarang semakin banyak suami yang tidak bisa mengarahkan istri, pun istri banyak yang gak nurut suami. Apa penyebabnya? Rendahnya kemampuan suami untuk memimpin dan yang lebih utama, kurangnya pemahaman agama sehingga kemampuan suami untuk membimbing istri menuju Allah pun kurang. Bukankah Allah yg mengikatkan hati-hati manusia?

Pernikahan merupakan ibadah yang utuh, pernikahan adalah amanah. Bukan sekedar agar ada yang mengisi kekosongan diri, hati dan hari. Karena pernikahan merupakan ibadah, sebaiknya landasannya bukan sekedar perasaan tapi iman dan takwa. Di awal pernikahan, perasaan bisa sangat mendominasi hubungan. Bisa dikatakan ini animo dari bersatunya dua insan yang telah lama saling menanti kehadiran. Itu lumrah tapi sebaiknya hubungan dalam pernikahan tidak berhenti sampai di situ saja. Memang, ada pasangan yang menikah cukup sampai tahap perasaan saja, pernikahan mereka dapat langgeng sampai ajal menjemput, tetapi yang didapatkan ya itu saja.

Pasangan yang berhenti pada tahap perasaan, wajar jika “ngambek” saat menjalani rumah tangga. Istri ngambek dan tidak berbuat baik saat suami tidak bertindak dan berkata lemah lembut kepadanya. Suami ngambek dan berhenti berbuat baik saat istri tidak melayaninya dengan baik. Pernikahan menjadi tentang diberi, dilayani, dibahagiakan, bukan memberi, melayani, membahagiakan. Pernikahan bukan lagi tentang ibadah yang utuh.

Istri sering menuntut suami yang romantis dan lemah lembut. Padahal tidak semua laki-laki bisa berlaku seperti itu. Namun, laki-laki yang agamanya baik, pasti akan romantis dan lemah lembut kepada istrinya karena Rasulullah pun demikian ke istri-istrinya. Kalau ada laki-laki yang agamanya terlihat baik, pemahaman agamanya luas tapi dia tidak berlaku lemah lembut ke istrinya, berarti ada yang salah di dirinya dalam menjalani agama.

Baik buruknya agama seseorang dapat terlihat dari shalatnya. Jika shalatnya baik, maka baiklah agamanya. Shalat yang baik bukan sekedar shalat tepat waktu, meski itu salah satu indikatornya. Banyak rukun-rukun shalat yang harus dipenuhi agar shalatnya dapat dibilang benar dan baik.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.”
(H. R. At-Thirmidzi No. 3895, Ibnu Majah no 1977, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 285)


Dalam obrolan dengan dua orang guru kehidupan

Aku Rindu