Oct 7, 2017

Sewajarnya

Ada perasaan-perasaan yang meletup dengan tiba-tiba, membuat kita merasa begitu menikmatinya lantas kemudian hanyut tanpa aba-aba dan mengalir dengan sangat mudah.

Tentang apapun. Marah. Bahagia. Sedih. Merasa terluka. Merasa istimewa.

Seringkali akal sehat menolak dan enggan membiarkan seluruh perasaan itu menguasai diri kita. Kata hati tidak sejalan. Ia hanya ingin melebur dalam perasaan-perasaan itu. Bukankah dalam setiap kejadian, kata hati selalu berlaku jujur?

Terjadilah peperangan. Kejujuran yang dirasakan kata hati dicambuk sampai merah oleh akal sehat dengan berbagai macam alasan yang tentu saja bertentangan. Lantas membuat bimbang dan ragu.

Marah menjadi ketenangan.
Bahagia menjadi keraguan.
Sedih menjadi kekuatan.
Merasa terluka menjadi kebangkitan.
Merasa istimewa menjadi ketidakyakinan.

Tidak ada yang salah dalam kasus perseteruan antara akal sehat dan kata hati. Sebab dari keduanya, kita akan belajar bahwa memang sesuatu yang berlebihan itu bukan hal yang baik.

Menjadi salah adalah ketika salah satu diantara keduanya kemudian memenangkan perang. Perasaan-perasaan yang pro kontra sebelumnya, lalu mendominasi dan menekan yang lain.

Mungin ini bukan sesuatu yang mudah. Peperangan antara akal sehat dan kata hati akan menyita waktu dan mengunyah perasaan-perasaan yang bertentangan itu. Salah satunya selalu berusaha menjadi pemenang.

Satu-satunya solusi adalah menikmati perasaan yang meletup itu dan menanggapinya dengan sewajarnya. Ya, sewajarnya. Bukan hanyut dan larut. Sehingga tidak menjadi berat sebelah.

Dan, kita harus segera mengalihkan pikiran dengan melakukan hal positif lain. Bukan untuk melupakan pergumulan perasaan, melainkan untuk membuka sudut pandang kita lagi. ‘Sewajarnya’ menjadi sebuah kata yang memiliki makna.

Aku Rindu