Kadang kita tidak sadar, ketika melihat seseorang atau sekelompok orang, terbesit di benak kita: oh dia ini; mereka nggak bisa mengerti; mereka rendahan. Atau malah kita langsung menghindari mereka seakan mereka barang kualitas rendah.
Apa yang kita lakukan itu secara otomatis hadir dalam prasangka kita.
Kita memang kadang membenci yang berbeda dari kita. Saat apa yang kita
pikirkan berbeda dari mereka, kita akan cepat-cepat tidak menyukai
mereka; menganggap mereka tidak lebih tahu dibanding diri kita. Apalagi
jika penampilan kita berbeda dengan mereka, hmmm, sudah pasti kita
memberi cap stampel kepada mereka, mereka begini mereka begitu. Benar,
kan?
Ada pula kebencian yang hadir di sosial media. Ya seperti yang kita
tahu, benci berawal dari prasangka. Misalnya, chatting kita lama
dibalas; mereka tidak mem-folback; mereka sok kenal sok dekat; mereka
lupa akan janjinya; mereka jadi beda pemikiran dengan kita; mereka tidak
menjawab pertanyaan kita; dan berbagai prasangka buruk lainnya.
Semuanya tidak kita sadari, tapi kita lakukan.
Kita selalu membenci, padahal kita sendiri tidak ingin dibenci.
Fakta bahwa kekecewaan datang silih berganti kepada kita dari banyak
orang–dalam banyak hal–bukan berarti jadi alasan kita membentuk
prasangka buruk lalu membenci kepada yang lain. Begitu pula kita mesti
belajar bahwa banyak hal yang niscaya berbeda-beda. Kalau pun kita
senang berkumpul dengan orang-orang yang “sama” dengan kita, tapi
sesekali lah menjadi bagian dari mereka yang “beda” itu. Rasakan
perbedaan itu dan masuk ke hati mereka.
Salah satu cara mengurangi rasa benci di dalam diri kita itu ya dengan membiasakan memandang orang lain dengan kasih sayang. Pun meredam dendam dengan selalu menyapa duluan.
Selalu ingat, kebencian akan mengundang kebencian lain. Seperti bangkai mengundang burung Nazar.