Hati manusia. Tidak
sekedar organ tubuh yang berfungsi menawarkan racun, lalu begini dan begitu,
tetapi lebih kepada tempat persembunyian terefektif bagi pikiran, gagasan, dan
perasaan. Jika bunker persembunyian perang bisa luluh lantah hancur dengan tanah
lalu diketahui isinya, hati manusia tidak. Sehebat-hebatnya ancaman, bahkan
sampai mengancam diri, semua isi hati akan tetap terkunci sampai mati, dan pada
akhirnya akan selalu menjadi misteri.
Sikap dan hati
merupakan kawan lama yang senantiasa berkoordinasi terlebih dahulu sebelum
bertindak. Sikap bisa seperti ini karena hati, hati bisa seperti itu karenaa
sikap. Adakalanya juga, hati dan sikap berlawanan, seolah-olah bekerjasama
memproteksi sesuatu yang sangat penting.
Munafik adalah kata yang paling keras
didengungkan bagi mereka yang ucapan dan perbuatannya bertentangan. Lantas bagi
mereka yang hati dan sikapnya berlawanan, apa boleh kita sebut dengan istilah
yang sama?
Hati dan sikap yang
berlawanan bisa ditemukan dalam berbagai dalih : menghormati orang lain,
menjaga perasaan orang lain atau menjaga persahabatan. Tidak heran jika mereka
sanggup memakai dua muka sekaligus sampai berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Alasannya karena itu tadi, ini dan itu.
Seorang Uya Kuya dapat
menghipnotis seseorang lalu membuka isi hatinya, yang nantinya akan keluarlah
bunyi-bunyi tulus dari palung hati terdalam seorang manusia, yang isinya bisa
menyenangkan dan bisa juga menyakitkan. Tapi separah apapun bunyi yang
menyakitkan, itu tetaplah suara hati, suara terjujur yang pernah ada.
Alih-alih ingin
menyeragamkan sikap dan hati, maka seseorang akan menghina orang dengan
perawakan improposional, gigi tidak beraturan, mata merah, dan rambut kusut nan
keriting dengan sebutan Si Buruk Rupa. Memang begitu nyatanya dan memang jujur
ucapannya? Lantas haruskah suara hati Yang Maha Jujur itu melukai hati orang
lain yang sama jujurnya?
Sesama bus saja dilarang mendahului, apalagi hati, tentu tidak boleh saling menyakiti. Aneh memang analogi ini, tapi biarlah. Tidak boleh saling menyakiti bukan berarti hidup harus rela bermuka dua selama-lamanya, bukan. Tapi biarlah isi hati itu tersimpan sedalam-dalamnya, terkunci rapat penuh kode rahasia sampai saatnya nanti. Saat yang tepat bagi hati berbicara. Toh, tugas manusia dalam bersikap ialah saling menghormati, tidak kurang dan boleh lebih.