Disandarkannya hati yang pegal pada bunyi hujan malam itu. Dia merebah, lelah, pasrah karena dingin dan basah.
Di kanan dan kirinya tidak ada apa pun selain kaca dengan bintik-bintik air yang lembap. Sementara di dalam kepalanya, banyak buih tentang perih akibat rindu yang berjalan pincang.
Dia mungkin tak sadar dengan bahunya yang pelan-pelan kuyup; sepasang bahu yang sudah lama diabaikan genggaman tangan.
Dan kau tahu, ada sesuatu yang jelas-jelas duduk manis di pelupuk matanya; adalah senyum yang mengembang dari sang bujang.
Sebab rindu terlalu jalang, pandangannya pun pucat, kehilangan darah. Sedang matanya, setia tergenang air mata yang tidak basi-basi.
Dia masih menggenggamnya erat, bunga mawar dua bulan lalu yang harumnya tinggal sisa-sisa. Berkali-kali memandang langit, dia berharap Tuhan menjatuhkan balasan rindu dari sana, menitipkannya pada jari mungil burung-burung Merpati.
Iya.
Wanita itu mungkin bisa mulai sakit jiwanya jika tidak segera berhenti.