Jan 4, 2019

Menikah di Usia Dini


Menikah di usia dini atau di usia tergolong remaja, akan lebih rentan mengalami pertengkaran, karena secara psikologis, remaja yang belum mengenal jati dirinya secara utuh terpaksa harus beradaptasi dengan pasangannya yang juga sama-sama belum memiki kedewasaan pikiran untuk menerima kekurangan atau kelebihan pasangan. Akibatnya, karena belum mampu mengendalikan emosi maka akan terjadi perselisihan dari hal-hal kecil yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Secara materi, menikah di usia dini rentan mengalami masalah ekonomi karena keduanya belum dapat mengatur keuangan dengan baik dan penghasilan yang diperoleh pun cenderung rendah. Masalah kesulitan keuangan dalam rumah tangga ini bukan hanya akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kesejahteraan, namun juga akan menjadi pemicu pertengkaran hingga perceraian.

Karena dianggap tidak siap berumahtangga, orang tua dari pasangan pernikahan dini akan ikut campur dalam kehidupan rumah tangga anaknya, dengan dalih membantu membiayai rumah tangga, orang tua akan sibuk juga mengatur kehidupan anak dan pasangannya untuk hidup sesuai keinginan orang tua. Bila tidak cocok, keributan atau pertengkaran bukan hanya terjadi antar pasangan tetapi juga dengan orang tua.

Secara medis, risiko menikah dini ada pada perempuan, karena bila terjadi kehamilan di usia dini, secara fisik rongga panggul belum siap mengandung, kemungkinan terjadinya anemia dan tekanan darah tinggi selama proses kehamilan, kemungkinan terjadi pendarahan yang mengakibatkan keguguran kandungan dan meninggalnya ibu, serta anak yang dilahirkan kemungkinan memiliki berat badan yang rendah dan lebih berisiko memiliki penyakit.

Mencegah Pernikahan Dini

Ada beberapa penyebab terjadinya pernikahan dini, antara lain kultur budaya tempat tinggal, dorongan kesulitan ekonomi dan pernikahan karena ‘kecelakaan’ atau terpaksa menikah karena terlanjur hamil.

Untuk mencegah terjadinya pernikahan dini karena kultur budaya dan masalah ekonomi, diperlukan pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat atau orang tua mengenai risiko dari pernikahan dini yang akan dialami anak-anaknya.

Sedangkan untuk mencegah pernikahan dini akibat ‘kecelakaan’ diperlukan upaya membekali remaja dengan pengetahuan kesehatan reproduksi

Karena alasan tabu dan sungkan, banyak remaja memilih bertanya kepada teman-temannya atau mencari tahu sendiri di internet mengenai seks dan perubahan fisik yang dialaminya, akibatnya informasi yang diterima malah menjerumuskannya untuk mencoba dan melakukan kegiatan seks bebas.

Ketika masih aktif berkecimpung di dunia remaja, kami pernah mengadakan retret dengan mengambil tema seks, love and dating, dan terlihat antusias remaja untuk mengikuti dan bertanya seputar tema tersebut. Hal ini membuktikan bahwa remaja butuh tempat untuk bertanya dan belajar seputar perubahan yang terjadi pada dirinya secara fisik dan juga secara psikologis karena di usia mereka mulai muncul rasa suka terhadap lawan jenis, juga jawaban atas pertanyaan bolehkan pacaran, dan apa saja yang boleh dilakukan saat pacaran.

Untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi ini perlu peran orang tua, guru di sekolah serta pembimbing organisasi remaja baik lingkungan rumah ataupun keagamaan.

Selain memberikan pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi, berikan kesempatan pada remaja untuk melakukan kegiatan positif bersama teman-temannya untuk mengisi waktu, baik di lingkungan sekolah melalui kegiatan ekstrakuliler, di organisasi keagamaan serta lingkungan tempat tinggal.

Bila berhasil mencegah pernikahan dini, berarti kita membantu remaja untuk dapat menempuh jenjang pendidikan secara terencana, berkarir dalam pekerjaan secara terencana dan menikah dengan penuh perencanaan disaat memasuki usia ideal, sehingga akhirnya bisa memiliki keluarga yang sehat dan sejahtera.

Aku Rindu