Jul 26, 2017

Dalam Berumah Tangga

Dalam berumah tangga, suami dan istri harus berusaha untuk saling memahami.

Tebalkan dan beri penekanan pada kata “berusaha”. Ya, ber-u-sa-ha.

Jika sudah dialami, sebenarnya memahami itu bukan proses mudah. Derajat memahami berbeda dengan mengetahui dan mengenali. Memahami tidak selesai di titik, “Oke, kebiasaan dia adalah suka tidur pakai kaos kaki.” Memahami adalah, “Dia merasa nyaman jika tidur dengan kaos kaki karena itu menghangatkannya, itu sebabnya dia selalu melakukannya.”

Memahami bukan, “Dia pasti marah jika tahu aku tidak meletakkan handuk ke jemuran, biasanya demikian.” Memahami adalah, “Dia mengurus banyak hal seharian. Tak sepantasnya aku membuatnya semakin sibuk hanya karena satu handukku. Maka aku akan menjemurnya segera untuk meringankannya.”

Memahami melibatkan empati dan emosi, bukan hanya kognisi. Dan itu butuh proses belajar sepanjang hayat. Tidak selalu berhasil, tidak semuanya bisa dipahami. Karena itu, saya pun memberi penegasan di paragraf pertama soal usaha.

Usaha pasangan dalam memahami kita pantas kita apresiasi. Meski ada banyak sekali persoalan, yang bagaimana pun pasangan kita berusaha memahaminya, ia akan terhenti di depan pintu dan kembali tanpa menemukan jawabannya.

Kalau sudah demikian, tersisa satu cara untuk tetap menjaga keseimbangan keluarga, yaitu dengan memahami ketidakpahaman pasangan kita.

Laki-laki mungkin tidak akan paham bagaimana kompleksnya emosi istrinya yang baru melahirkan. Laki-laki juga tidak akan paham mengapa perempuan suka bercerita, juga mudah menangis, tapi di lain waktu begitu galak.

Maka perempuan tak perlu menjadikan ketidakpahaman suami tersebut sebagai tanda genderang perang dunia ketiga. Dunia perempuan berbeda dengan dunia laki-laki, pahami dulu itu. Agar perempuan bisa melapangkan hati memahami ketidakpahaman suaminya.

Perempuan mungkin tidak paham mengapa laki-laki masih senang bermain seperti anak-anak bahkan ketika dia sudah menjadi seorang ayah.

Maka laki-laki tak perlu menjadikan ketidakpahaman istrinya tersebut sebagai korek api di ladang jerami. Dunia laki-laki berbeda dengan dunia perempuan, pahami dulu itu. Agar laki-laki bisa melapangkan hati memahami ketidakpahaman istrinya.

Perempuan dan laki-laki tidak perlu memasang standar yang sama terhadap pasangannya dalam beberapa urusan yang memang tidak bisa disatupahamkan.

Memahami ketidakpahaman pasangan terhadap keunikan karakter kita pun adalah proses yang mesti diusahakan dan dipelajari terus menerus.
Penerimaan adalah hulunya. Pantas kita ingat, bahwa saat kita berkata “Aku menerimamu,” itu juga berarti, “Aku menerima kemungkinan bahwa kamu tidak bisa selalu memahamiku dan duniaku, sebagaimana aku pun tidak selalu bisa memahamimu dan duniamu.”

Namun, selama pasangan kita menunjukkan usaha untuk memahami kita, sepatutnya kita menghargainya dan menunjukkan usaha yang sama untuk memahaminya. Selama kita tidak tergesa-gesa; tidak saling menuntut untuk bisa dipahami dengan cepat.

Sebab, bukankah kita masih punya waktu seumur hidup bersamanya–jika Allah menakdirkan? Rasanya, itu waktu yang cukup bagi kita untuk terus belajar memahami satu sama lain, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dari windu ke windu, dari dasawarsa pertama, ke dasawarsa-dasawarsa selanjutnya.

Bukankah demikian?

Aku Rindu