Malam ini aku bercengkerama dengan gerimis, yang rintiknya sejak tadi
seolah memuisikan sebuah rasa yang membersamai jarak. Rindu.
Bicara soal jarak, bagi sebagian orang terdengar tak menyenangkan.
Mungkin juga bagiku. Tetapi itu dulu, sebelum akhirnya kamu datang dan
memberiku alasan untuk merindu.
Detik itu, masih terekam jelas di kepalaku, kali pertama aku mulai
mengabadikan lengkung senyummu dalam pigura sederhana di ponselku.
Senyum yang dengannya aku merasa bahagia, melantarkan mataku seolah
enggan beranjak untuk luput memandanginya. Namun, lagi dan lagi semua
perihal jarak, yang membatasi ruang pandangku terhadap sosokmu yang
berada dalam radius tak dekat.
Terkadang bahkan seringnya aku merenungkan satu hal. Bagaimana bisa
rindu memegang peran seperti itu, ia meluluhlantakkan jarak yang
nyatanya terbentang di antara kita. Ia melipatnya dengan rapi tepat pada
tiap sisi serta sudutnya. Lalu meniadakan ragu, yang kerap merutuk
menghiasi prasangka yang sulit diredam, sebab raga tak mampu saling
mendekap untuk menenangkan batin satu sama lain.
Karena jika jarak adalah suara paling lantang yang pernah ada, maka
rinduku adalah bahasa kalbu paling bisu adanya. Bagaimana tidak? Ia
paham betul perihal rasa antara dua manusia yang tak bisa saling
bertatap netra. Ketika jarak menghadirkan jeda, maka rinduku menjelma
kata yang tak memerlukan tanda tanya pada akhir kalimatnya.
Rindu ini terus menjalar, menyisir aliran jarak inci demi inci tanpa
alpa. Masing-masing dari kita tak menjanjikan bahagia yang sempurna,
tetapi kita percaya bahwa setia dan doa mampu meleburkan segala
kegundahan jiwa. Jika rindu ini mampu dikirimkan bersama untai bait-bait
doa, maka temu dan hidup bersama kelak akan jadi sebuah muara, hingga
jarak antara kita hanyalah sejauh dua tatap mata yang bertemu di satu
titik yang sama.