Untuk mengungkapkan sebuah rasa yang mungkin sulit untuk
diungkapkan oleh kata – kata maka dapat digunaakan setangkai bunga pengganti
bunga kata yang tersumbat oleh kelu lidah dan keegoisan diri yang tak mau atau
sombong untuk mengakuinya. Seperti setangkai mawar yang kerap sekali dijadikan
penyambung lidah dan rasa, karena setangkai mawar identik dijadikan simbol
tersebut yang disesuai warna dan kebutuhannya.
Mawar merah atau pink yang
selalu identik dengan pengungkapan sebuah rasa kasih dan sayang. Yang tak dapat
terjabarkan oleh untaian kata – kata.
Mawar putih yang selalu melambangkan
kesucian, meski kini nilai – nilai kesucian tersebut telah terenggut dan
mungkin terbeli oleh gemerlap dunia dan hingar – bingar moderenitas.
Mawar
kuning yang dijadikan simbolisasi sebuah rasa persahabatan yang mungkin tak
dapat tergantikan oleh materi.
Mawar hitam merupakan simbolisasi sebuah nurani
yang terbungkam dan mungkin sisa hati yang masih hidup hingga kini dan mencoba
mencari arti sebuah makna hidup dan kebenaran yang nyaris hilang oleh
sombongnya dunia. Sebuah nurani yang terbungkam dan mencoba mendeskripsikan
atas segala rasa melalui apa – apa yang dirasakan oleh panca inder dan makna
hidup yang dijalaninya dalam sebuah pengalaman.
Mungkin kini mawar – mawar
tersebut telah mati atau bahkan mungkin mawar – mawar telah menjelma dan
menghasilkan spesies atas warna yang berbeda dengan warna aslinya dan akan
terus beregenerasi dan menghasilkan anakan – anakan baru yang akan semakin
memudar. Mawar – mawar tersebut telah berganti menjadi kelabu “abu – abu”
karena polusi sebuah sistem, tatanan perkotaan dan urbanisasi, modernitas serta
kebutuhan – kebutuhan akan hidup maupun pergeseran nilai budaya dan moralitas.
Mawar merah yang memadu kasih antara rasa cinta dan rasa sayang diantara ambisi
serta nafsu. Mawar putih yang tetap mengusung nilai kesucian dan makna sebuah
ketulusan pun kini telah pudar menjadi pamrih dengan balutan kata – kata manis
“memberi dan menerima” atau dengan bahasa anak jaman sekarang take and give.
Dimana kini semua yang telah dilakukan dan dijalani merupakan kompensasi dari
sebuah timbal balik. Tak jauh berbeda apa yang dialami dengan tangkaian mawar
kuning yanv tergantikan materi karena persahabatan kini selalu menghitung
untung – rugi layaknya sebuah sistem ekonomi kelas teri, bersahabat, berteman
dengan orang melihat dari status sosial dan apa yang dapat diperoleh.
Yang
masih ada dan tetap konsisten deri semuanya kini hanya setangkai mawar hitam
yang merupakan simbolisasi sebuah nurani yang terbungkam atas segana penat dan
kebutuhan dunia. Karena setiap jiwa yang hidup dan terkurung dalam angkuhnya
sebuah tubuh akan terus bergerak dan mencari nilai – nilai kesucian dan
kebenaran meski terkadang sering terjadi resistensi dalam diri, perlawanan
antara hati dan pikiran yang melahirkan suatu konsep ideologi serta tuntutan
akan kebutuhan hidup yang harus dijalaninya. Karena jiwa pun sangat menyadari
hidup merupakan konsekuensi atas semuaanya dan tak dapat dipungkiri.